Tidak hanya
di Indonesia, sejumlah negara pun dihebohkan oleh beras palsu asal China.
Selain meresahkan di China, penjualan beras plastik tersebut sudah menjalar ke
berbagai tempat di India. Beras palsu tersebut terbuat dari bahan campuran
kentang, ubi jalar, dan resin sintetis industri alias plastik.
Temuan di
Bekasi
Salah satu
warga Bekasi, Dewi Septian, curiga atas beras yang dibelinya. Beras yang
dimasaknya sebagai bubur tidak matang seperti biasa, melainkan sebagian masih
berbentuk bulir beras.
Lalu dia
memposting foto temuannya itu di sosial media, Instragram, Senin pada 19 Mei.
Dia menyandingkan beras asli dan beras yang menurutnya adalah beras plastik.
Selain itu dia juga memajang hasil masakannya yang berasal dari beras asli dan
yang diduga palsu.
Dewi yang
merupakan penjual bubur ayam dan nasi uduk itu membeli beras di dekat rumahnya
pada Rabu, 13 Mei.
"Saya
menemukan di pasar Mutiara Gading Timur, jenis beras tersebut produksi
Karawang, jenis Setra Ramos," ujarnya saat dihubungi Okezone, Jakarta,
Selasa (19/5/2015).
Dia mengaku,
telah mengirimkan email ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) guna
memastikan temuannya tersebut. Namun email itu, hingga kini belum direspons.
Kemudian,
pada Selasa siang Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi
(Disperindagkop) Kota Bekasi, Jawa Barat dan pihak Mapolsek Bantargebang,
Bekasi, menelusuri pasar tempat Dewi membeli beras.
Kapolresta
Bekasi Kota, Komisaris Besar Rudi Setiawan meminta agar masyarakat tidak resah
dan menanti hasil uji laboratorium untuk memastikan beras tersebut asli atau
palsu.
Selasa sore,
Toko S, tempat di mana Dewi biasa membeli beras pun telah ditutup sementara
selama penyidikan berlangsung.
Bagi kita
setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati terkait beredarnya beras plastik.
Pertama,
motivasi ekonomi untuk menangguk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan berbuat
curang. Dalam sistem ekonomi pasar seperti sekarang ini, sesama pedagang bisa
bersaing secara bebas. Tak jarang kecurangan dilakukan dengan cara mengoplos
beras. Perbuatan curang yang biasa dilakukan adalah mencampur beras kualitas
sedang dengan beras berkualitas rendah.
Porsi beras
berkualitas rendah tentu lebih banyak, sehingga dengan harga jual sedikit lebih
mahal, pedagang pun menangguk untung. Dengan asumsi harga beras berkualitas
rendah Rp 6.000 per kilogram, kemungkinan harga beras plastik jauh lebih murah,
sehingga bila dicampur dengan beras berkualitas sedang, laba yang diraup pedagang
pasti jauh lebih banyak.
Kedua, upaya
pengalihan isu oleh mafia beras dan mafia gula. Seperti diketahui, sejumlah
media massa beramai-ramai menyoroti keberadaan mafia beras dan gula. Sebutan
mafia beras dan gula kembali menjadi populer menyusul tekad pemerintah
menghentikan impor beras dan gula mulai tahun ini. Pemerintah pun mempersempit
ruang gerak mafia beras dan gula.
Pemberitaan
yang bertubi-tubi tentang praktik mafia beras dan gula, pasti mengusik mereka.
Pemerintah pun tak bisa lagi bermain-main memberantas praktik mafia bahan kebutuhan
pokok masyarakat.
Untuk
mengalihkan perhatian media dan publik, kasus beras plastik pun dimunculkan.
Diharapkan kasus beras plastik dan mungkin kasus-kasus lain yang diembuskan
nanti, bisa membuat mafia kembali leluasa melobi pihak-pihak tertentu agar
membuka keran impor beras dan gula. Keuntungan triliunan rupiah setiap bulan
dari impor beras dan gula tetap bisa dinikmati, sementara rakyat terpaksa
membelinya dengan harga yang semakin mahal.
Ketiga dan
yang paling menakutkan adalah langkah sistematis meracuni rakyat Indonesia. Hal
inilah yang paling mengkhawatirkan kita.
Sesungguhnya
selama ini makanan sebagian rakyat telah diracuni formalin dan bahan kimia
berbahaya lainnya. Bahan makanan dan makanan jadi yang dijual di pasar-pasar
tradisional serta di jalan-jalan di depan sekolah tak benar-benar sehat.
Masih cukup
banyak bahan makanan dan makanan “beracun” yang beredar di pasaran. Kehadiran
beras plastik menambah panjang daftar makanan “beracun” yang beredar di
pasaran. Dalam jangka pendek, makanan “beracun” dalam tubuh akan menimbulkan
berbagai gangguan penyakit. Sedangkan dalam jangka panjang, kualitas generasi
bangsa yang dicekoki makanan “beracun” pasti akan menurun dan sulit bersaing
dengan sumber daya manusia (SDM) negara-negara lain.
Kita
mengapresiasi instansi pemerintah yang bergerak cepat menangani kasus beras
plastik. Polisi, Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindag)
Kota Bekasi, serta Kementerian Perdagangan, langsung turun tangan. Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) juga diharapkan segera terlibat untuk memastikan sejauh
mana efek negatif beras plastik bila dikonsumsi manusia.
Sejalan
dengan itu, kita mendesak Bea Cukai, yang dibantu aparat Kepolisian serta
intelijen, menelusuri asal-usul beras plastik, sekaligus mengungkap
jaringannya. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel memastikan pihaknya tidak pernah
mengeluarkan izin mengimpor beras plastik. Dengan demikian dapat dipastikan
beras plastik yang beredar merupakan barang selundupan.
Oleh karena
itu, Bea Cukai, aparat Kepolisian, dan unsur TNI di wilayah perbatasan, harus
bisa menutup jalur penyelundupan lewat laut dan juga jalan-jalan tikus di
wilayah perbatasan, serta memperketat pemeriksaan barang di pelabuhan.
Selanjutnya, pedagang, pemasok, dan penyelundup beras plastik mesti diproses
hukum.
Kita pun
berharap masyarakat tak segan melapor ke aparat setempat bila menemukan beras
plastik dan makanan berformalin atau mengandung bahan-bahan kimia berbahaya.
Keberanian masyarakat yang ditunjang kerja cepat aparat diharapkan dapat
meminimalisasi beredarnya bahan makanan “beracun”.
Hasil uji
laboratorium yang dilakukan Sucofindo membuktikan kebenaran beras plastik,
namun hal ini berbeda dengan Penelitian Puslabfor Mabes Polri yang menyebut
tidak ada bahan plastik pada sampel beras yang sebelumnya disebut-sebut
mengandung beras sintetis. Hal ini akhirnya berbuntut dengan dipolisikannya
Dewi Septiani, pelapor beras plastik.
Tindakan
aparat ini disayangkan berbagai pihak, salahsatunya disuarakan oleh Pusat
Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM).
PAHAM sebut
jangan sampai temuan tersebut membuat pelapor Dewi Septiani trauma, apalagi
sampai merasa menerima intimidasi dari aparat.
“Bila hal
ini terjadi, orang akan cenderung abai dan tidak mau melapor apabila melihat
sebuah kejahatan,” tegas Sekjend Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia (Paham), Rozaq Asyhari, dalam siaran persnya (Kamis, 28/5).
Dia
mengungkapkan, apa yang dilakukan Ibu Dewi adalah tindakan konsumen yang baik.
Itu adalah upaya preventif untuk menghindarkan masyarakat dari bahaya buruk
bahan makanan yang diduga dari platik. Oleh karenanya, langkah waspada yang
demikian harus dicontoh oleh anggota masyarakat lainnya.
“Bahwa yang
dilakukan oleh Dewi Septiani adalah early warning, yang seharunya merupakan
kewajiban apparat terkait untuk menindaklanjuti,” ungkapnya.
PAHAM
menyayangkan adanya dugaan intimidasi yang dialami oleh Ibu Dewi. Karena yang
dilakukan Ibu Dewi sudah sesuai dengan ketentuan pasal 165 KUHP. Dimana ada
kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan kepada polisi jika mengetahui
terjadinya suatu tindak kejahatan. Walaupun dalam Pasal 165 KUHP tersebut hanya
disebutkan beberapa pasal tindak kejahatan.
“Namun
secara umum, hal ini merupakan suatu upaya untuk mencegah terjadinya suatu
tindak kejahatan,” terang kandidat Doktor dari Fakultas Hukum Universitas
Indonesia ini.
Karena itu
PAHAM mendorong agar Kapolri memberikan penghargaan kepada Dewi Septiani dan
memberikan sanksi kepada oknum yang diduga mengintimidasi.
“Saya rasa
layak Pak Badrodin Haiti memberikan penghargaan kepada Bu Dewi. Karena sebagai
warga negara yang baik telah memberikan laporan sebagai bentuk kewaspadaan
sesuai dengan ketentuan pasal 165 KUHP. Hal ini untuk merangsang agar
masyarakat peduli dengan persoalan hukum yang ada di sekitarnya. Disisi lain,
apabila memang terbukti ada oknum aparat yang melakukan intimidasi selayaknya
pula Kapolri berikan teguran atau sanksi”, tegasnya.
Sikap kritis
konsumen
Sesungguhnya
konsumen adalah pengguna semua bentuk barang dan jasa yang harus diberi
kepastian atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan terhadap barang yang
dikonsumsinya. Pelayanan yang berkualitas dan optimal terhadap publik menjadi
sebuah keniscayaan. Namun, hal itu bisa dilakukan jika pemerintah dan pelaku
usaha (produsen) memberikan perlindungan yang optimal kepada konsumen dan pada
gilirannya akan meningkatkan harkat dan martabat konsumen.
Perlu
kiranya ditumbuhkan kebiasaan mengadu yang merupakan bagian dari sikap kritis
konsumen sekaligus menjadi indikator baik atau tidaknya perlindungan konsumen
di suatu negara. Budaya mengadu konsumen Indonesia masih sangat rendah.
Sebaliknya sikap pasrah atau nrimo masih menjadi suatu pilihan dari masyarakat.
Karena itu, apa yang dilakukan Dewi Septiani, pelapor akan adanya beras
sintetis di Bekasi, adalah refleksi dari sikap kritis konsumen.
Bukan
sebaliknya yang bersangkutan diancam untuk dipidanakan karena dianggap
menyebarkan isu yang meresahkan masyarakat. Masalah beras plastik ini
sesungguhnya di satu sisi memberi dampak positif (hikmah), yaitu membangun
sikap kritis konsumen terhadap hak-hak dasar yang dimilikinya.
Terbukti
dari masalah tersebut konsumen tampak lebih reaktif terhadap berbagai
ketidaknyamanan dan berbagai ancaman terhadap makanan yang bisa merusak
kesehatan konsumen. Hal lainnya, kita juga menyaksikan berbagai pemangku
kepentingan dalam hal ini berperan aktif mengkritik persoalan beras plastik yang
ditemukan di daerah Bekasi.
Bahkan Badan
Urusan Logistik (Bulog) dibuat panik. Tidak hanya itu, Kementrian
Perdagangandan Kementrian Pertanian juga menunjukkan rasa empati atas kejadian
yang menimpa kepada konsumen. Penemuan beras palsu atau beras sintesis asal
China mengingatkan kepada kita semua (konsumen) bahwa lingkungan kita saat ini
tidak terbebas dari produk makanan dan minuman berbahaya. Fenomena beras
sintetis hanya sekian kasus dari berbagai penemuan produk makanan dan minuman
”aspal” alias asli tapi palsu di Tanah Air.
Adapun
dampak kesehatan bagi mereka yang mengkonsumsi beras plastik diantaranya adalah
:
1. Mengalami
Gangguan Lambung
Beras
plastik sulit untuk dicerna, jelas saja ini akan membebankan fungsi pencernaan
termasuk lambung. Beras palsu berbahan plastik akan menganggu fungsi Lambung,
ini dikarenakan senyawa yang kimia yang akan membuat lambung terganggu. Apalagi
bila dikonsumsi oleh anak-anak akan berisiko besar dalam meningkatkan gangguan
lambung.
2. Kanker
Konsumsi
beras palsu berbahan plastik dalam jangka panjang akan memicu gangguan
kesehatan yang berhubungan dengan risiko kanker. Bahan-bahan kimia yang
berbahaya yang terdapat di dalam beras palsu yang akan menyebabkan risiko ini
meningkat lebih besar.
3.Gangguan
Kesehatan yang berhubungan dengan ginjal dan Fungsi Hati
Organ yang
akan terganggu karena konsumsi beras palsu yang berbahan plastik adalah hati
dan ginjal. Fungsi kerja kedua organ tersebut menjadi lebih berat, terlebih
apabila beras palsu yang dikonsumsi mengandung bahan pewarna yang akan
menyebabkan gangguan pada kedua organ tersebut dalam jangka waktu panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar