Rabu, 10 Juni 2015

HEBOH BERAS PLASTIK (TINJAUAN DARI PERLINDUNGAN HAK ASASI RAKYAT)


Tidak hanya di Indonesia, sejumlah negara pun dihebohkan oleh beras palsu asal China. Selain meresahkan di China, penjualan beras plastik tersebut sudah menjalar ke berbagai tempat di India. Beras palsu tersebut terbuat dari bahan campuran kentang, ubi jalar, dan resin sintetis industri alias plastik.
Temuan di Bekasi

Salah satu warga Bekasi, Dewi Septian, curiga atas beras yang dibelinya. Beras yang dimasaknya sebagai bubur tidak matang seperti biasa, melainkan sebagian masih berbentuk bulir beras.
Lalu dia memposting foto temuannya itu di sosial media, Instragram, Senin pada 19 Mei. Dia menyandingkan beras asli dan beras yang menurutnya adalah beras plastik. Selain itu dia juga memajang hasil masakannya yang berasal dari beras asli dan yang diduga palsu.
Dewi yang merupakan penjual bubur ayam dan nasi uduk itu membeli beras di dekat rumahnya pada Rabu, 13 Mei.

"Saya menemukan di pasar Mutiara Gading Timur, jenis beras tersebut produksi Karawang, jenis Setra Ramos," ujarnya saat dihubungi Okezone, Jakarta, Selasa (19/5/2015).
Dia mengaku, telah mengirimkan email ke Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) guna memastikan temuannya tersebut. Namun email itu, hingga kini belum direspons.
Kemudian, pada Selasa siang Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Bekasi, Jawa Barat dan pihak Mapolsek Bantargebang, Bekasi, menelusuri pasar tempat Dewi membeli beras.

Kapolresta Bekasi Kota, Komisaris Besar Rudi Setiawan meminta agar masyarakat tidak resah dan menanti hasil uji laboratorium untuk memastikan beras tersebut asli atau palsu.
Selasa sore, Toko S, tempat di mana Dewi biasa membeli beras pun telah ditutup sementara selama penyidikan berlangsung.

Bagi kita setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati terkait beredarnya beras plastik.

Pertama, motivasi ekonomi untuk menangguk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan berbuat curang. Dalam sistem ekonomi pasar seperti sekarang ini, sesama pedagang bisa bersaing secara bebas. Tak jarang kecurangan dilakukan dengan cara mengoplos beras. Perbuatan curang yang biasa dilakukan adalah mencampur beras kualitas sedang dengan beras berkualitas rendah.
Porsi beras berkualitas rendah tentu lebih banyak, sehingga dengan harga jual sedikit lebih mahal, pedagang pun menangguk untung. Dengan asumsi harga beras berkualitas rendah Rp 6.000 per kilogram, kemungkinan harga beras plastik jauh lebih murah, sehingga bila dicampur dengan beras berkualitas sedang, laba yang diraup pedagang pasti jauh lebih banyak.

Kedua, upaya pengalihan isu oleh mafia beras dan mafia gula. Seperti diketahui, sejumlah media massa beramai-ramai menyoroti keberadaan mafia beras dan gula. Sebutan mafia beras dan gula kembali menjadi populer menyusul tekad pemerintah menghentikan impor beras dan gula mulai tahun ini. Pemerintah pun mempersempit ruang gerak mafia beras dan gula.
Pemberitaan yang bertubi-tubi tentang praktik mafia beras dan gula, pasti mengusik mereka. Pemerintah pun tak bisa lagi bermain-main memberantas praktik mafia bahan kebutuhan pokok masyarakat.
Untuk mengalihkan perhatian media dan publik, kasus beras plastik pun dimunculkan. Diharapkan kasus beras plastik dan mungkin kasus-kasus lain yang diembuskan nanti, bisa membuat mafia kembali leluasa melobi pihak-pihak tertentu agar membuka keran impor beras dan gula. Keuntungan triliunan rupiah setiap bulan dari impor beras dan gula tetap bisa dinikmati, sementara rakyat terpaksa membelinya dengan harga yang semakin mahal.

Ketiga dan yang paling menakutkan adalah langkah sistematis meracuni rakyat Indonesia. Hal inilah yang paling mengkhawatirkan kita.
Sesungguhnya selama ini makanan sebagian rakyat telah diracuni formalin dan bahan kimia berbahaya lainnya. Bahan makanan dan makanan jadi yang dijual di pasar-pasar tradisional serta di jalan-jalan di depan sekolah tak benar-benar sehat.

Masih cukup banyak bahan makanan dan makanan “beracun” yang beredar di pasaran. Kehadiran beras plastik menambah panjang daftar makanan “beracun” yang beredar di pasaran. Dalam jangka pendek, makanan “beracun” dalam tubuh akan menimbulkan berbagai gangguan penyakit. Sedangkan dalam jangka panjang, kualitas generasi bangsa yang dicekoki makanan “beracun” pasti akan menurun dan sulit bersaing dengan sumber daya manusia (SDM) negara-negara lain.

Kita mengapresiasi instansi pemerintah yang bergerak cepat menangani kasus beras plastik. Polisi, Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindag) Kota Bekasi, serta Kementerian Perdagangan, langsung turun tangan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga diharapkan segera terlibat untuk memastikan sejauh mana efek negatif beras plastik bila dikonsumsi manusia.

Sejalan dengan itu, kita mendesak Bea Cukai, yang dibantu aparat Kepolisian serta intelijen, menelusuri asal-usul beras plastik, sekaligus mengungkap jaringannya. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel memastikan pihaknya tidak pernah mengeluarkan izin mengimpor beras plastik. Dengan demikian dapat dipastikan beras plastik yang beredar merupakan barang selundupan.

Oleh karena itu, Bea Cukai, aparat Kepolisian, dan unsur TNI di wilayah perbatasan, harus bisa menutup jalur penyelundupan lewat laut dan juga jalan-jalan tikus di wilayah perbatasan, serta memperketat pemeriksaan barang di pelabuhan. Selanjutnya, pedagang, pemasok, dan penyelundup beras plastik mesti diproses hukum.

Kita pun berharap masyarakat tak segan melapor ke aparat setempat bila menemukan beras plastik dan makanan berformalin atau mengandung bahan-bahan kimia berbahaya. Keberanian masyarakat yang ditunjang kerja cepat aparat diharapkan dapat meminimalisasi beredarnya bahan makanan “beracun”.

Hasil uji laboratorium yang dilakukan Sucofindo membuktikan kebenaran beras plastik, namun hal ini berbeda dengan Penelitian Puslabfor Mabes Polri yang menyebut tidak ada bahan plastik pada sampel beras yang sebelumnya disebut-sebut mengandung beras sintetis. Hal ini akhirnya berbuntut dengan dipolisikannya Dewi Septiani, pelapor beras plastik.

Tindakan aparat ini disayangkan berbagai pihak, salahsatunya disuarakan oleh Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM).
PAHAM sebut jangan sampai temuan tersebut membuat pelapor Dewi Septiani trauma, apalagi sampai merasa menerima intimidasi dari aparat.
“Bila hal ini terjadi, orang akan cenderung abai dan tidak mau melapor apabila melihat sebuah kejahatan,” tegas Sekjend Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (Paham), Rozaq Asyhari, dalam siaran persnya (Kamis, 28/5).

Dia mengungkapkan, apa yang dilakukan Ibu Dewi adalah tindakan konsumen yang baik. Itu adalah upaya preventif untuk menghindarkan masyarakat dari bahaya buruk bahan makanan yang diduga dari platik. Oleh karenanya, langkah waspada yang demikian harus dicontoh oleh anggota masyarakat lainnya.
“Bahwa yang dilakukan oleh Dewi Septiani adalah early warning, yang seharunya merupakan kewajiban apparat terkait untuk menindaklanjuti,” ungkapnya.

PAHAM menyayangkan adanya dugaan intimidasi yang dialami oleh Ibu Dewi. Karena yang dilakukan Ibu Dewi sudah sesuai dengan ketentuan pasal 165 KUHP. Dimana ada kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan kepada polisi jika mengetahui terjadinya suatu tindak kejahatan. Walaupun dalam Pasal 165 KUHP tersebut hanya disebutkan beberapa pasal tindak kejahatan.

“Namun secara umum, hal ini merupakan suatu upaya untuk mencegah terjadinya suatu tindak kejahatan,” terang kandidat Doktor dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Karena itu PAHAM mendorong agar Kapolri memberikan penghargaan kepada Dewi Septiani dan memberikan sanksi kepada oknum yang diduga mengintimidasi.

“Saya rasa layak Pak Badrodin Haiti memberikan penghargaan kepada Bu Dewi. Karena sebagai warga negara yang baik telah memberikan laporan sebagai bentuk kewaspadaan sesuai dengan ketentuan pasal 165 KUHP. Hal ini untuk merangsang agar masyarakat peduli dengan persoalan hukum yang ada di sekitarnya. Disisi lain, apabila memang terbukti ada oknum aparat yang melakukan intimidasi selayaknya pula Kapolri berikan teguran atau sanksi”, tegasnya.



Sikap kritis konsumen

Sesungguhnya konsumen adalah pengguna semua bentuk barang dan jasa yang harus diberi kepastian atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan terhadap barang yang dikonsumsinya. Pelayanan yang berkualitas dan optimal terhadap publik menjadi sebuah keniscayaan. Namun, hal itu bisa dilakukan jika pemerintah dan pelaku usaha (produsen) memberikan perlindungan yang optimal kepada konsumen dan pada gilirannya akan meningkatkan harkat dan martabat konsumen.

Perlu kiranya ditumbuhkan kebiasaan mengadu yang merupakan bagian dari sikap kritis konsumen sekaligus menjadi indikator baik atau tidaknya perlindungan konsumen di suatu negara. Budaya mengadu konsumen Indonesia masih sangat rendah. Sebaliknya sikap pasrah atau nrimo masih menjadi suatu pilihan dari masyarakat. Karena itu, apa yang dilakukan Dewi Septiani, pelapor akan adanya beras sintetis di Bekasi, adalah refleksi dari sikap kritis konsumen.

Bukan sebaliknya yang bersangkutan diancam untuk dipidanakan karena dianggap menyebarkan isu yang meresahkan masyarakat. Masalah beras plastik ini sesungguhnya di satu sisi memberi dampak positif (hikmah), yaitu membangun sikap kritis konsumen terhadap hak-hak dasar yang dimilikinya.
Terbukti dari masalah tersebut konsumen tampak lebih reaktif terhadap berbagai ketidaknyamanan dan berbagai ancaman terhadap makanan yang bisa merusak kesehatan konsumen. Hal lainnya, kita juga menyaksikan berbagai pemangku kepentingan dalam hal ini berperan aktif mengkritik persoalan beras plastik yang ditemukan di daerah Bekasi.

Bahkan Badan Urusan Logistik (Bulog) dibuat panik. Tidak hanya itu, Kementrian Perdagangandan Kementrian Pertanian juga menunjukkan rasa empati atas kejadian yang menimpa kepada konsumen. Penemuan beras palsu atau beras sintesis asal China mengingatkan kepada kita semua (konsumen) bahwa lingkungan kita saat ini tidak terbebas dari produk makanan dan minuman berbahaya. Fenomena beras sintetis hanya sekian kasus dari berbagai penemuan produk makanan dan minuman ”aspal” alias asli tapi palsu di Tanah Air.

Adapun dampak kesehatan bagi mereka yang mengkonsumsi beras plastik diantaranya adalah :

1. Mengalami Gangguan Lambung
Beras plastik sulit untuk dicerna, jelas saja ini akan membebankan fungsi pencernaan termasuk lambung. Beras palsu berbahan plastik akan menganggu fungsi Lambung, ini dikarenakan senyawa yang kimia yang akan membuat lambung terganggu. Apalagi bila dikonsumsi oleh anak-anak akan berisiko besar dalam meningkatkan gangguan lambung.

2. Kanker
Konsumsi beras palsu berbahan plastik dalam jangka panjang akan memicu gangguan kesehatan yang berhubungan dengan risiko kanker. Bahan-bahan kimia yang berbahaya yang terdapat di dalam beras palsu yang akan menyebabkan risiko ini meningkat lebih besar.

3.Gangguan Kesehatan yang berhubungan dengan ginjal dan Fungsi Hati
Organ yang akan terganggu karena konsumsi beras palsu yang berbahan plastik adalah hati dan ginjal. Fungsi kerja kedua organ tersebut menjadi lebih berat, terlebih apabila beras palsu yang dikonsumsi mengandung bahan pewarna yang akan menyebabkan gangguan pada kedua organ tersebut dalam jangka waktu panjang.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar