Jumat, 23 Desember 2016

PENGARUH KEBIJAKAN DEVIDEN TERHADAP MANAJEMEN LABA

Teori Kebijakan Dividen

Ada tiga argumentasi mengenai kebijakan dividen yang berkaitan dengan nilai perusahaan yang sampai sekarang masih diperdebatkan. Hal itu terjadi karena dividen masih merupakan hal yang membingungkan (dividend puzzle). Argumentasi tersebut dikemukakan oleh Miller dan Modigliani, Lintner dan Gordon, serta Litzenberger dan Ramaswamy (Hartono, 2000) dan dapat dijelaskan dengan, (1) Dividen tidak relevan, teori Modigliani dan Miller ini menyatakan bahwa pembayaran dividen tidak berpengaruh terhadap kemakmuran pemegang saham, (2) Dividen dapat meningkatkan kesejahtera an pemegang saham. Gordon dan Lintner mengemukakan argumentasi nya bahwa semakin tinggi dividend pay out ratio, maka semakin tinggi nilai perusahaan. Investor lebih senang menerima pembayaran dividen pada masa sekarang dibandingkan menunggu capital again dari laba ditahan. Pandangan Gorden- Lintner ini oleh Modigliani-Miller diberi nama the bird in the hand fallacy, yang dikenal dengan bird in the hand theory, dan (3) Dividen menurunkan tingkat kesejahteraan pemegang saham. Pandangan Litzenberger dan Ramaswamy ini dikenal dengan tax different theory, yang mengemukakan bahwa semakin tinggi dividend pay out ratio suatu perusahaan maka nilai perusahaan semakin rendah.

Hal ini didasari pada pemikiran bahwa pajak yang dikenakan terhadap capital gain lebih rendah daripada pajak dividen. Ketiga pandangan dalam teori kebijakan dividen tersebut ternyata saling bertentangan atau terjadi kontroversial. Pandangan Modigliani-Miller menyatakan bahwa tidak ada kebijakan dividen yang optimal karena kebijakan apa pun yang diambil tidak akan mempengaruhi nilai perusahaan. Gordon dan Lintner menyarankan agar perusahaan membagi dividen yang tinggi, pendapat yang ketiga menyarankan perusahaan untuk membagi kan dividen yang rendah atau tidak membagikan dengan tujuan mengurangi biaya modal dan menaikkan nilai perusahaan.

Konsep Good Corporate Governace (GCG) Tujuan GCG adalah untuk memaksimalkan nilai perusahaan dan pemegang saham dengan mengembangkan transparansi, kepercayaan dan pertanggungjawaban, serta menetapkan sistem pengelolaan yang mendorong dan mempromosikan kreativitas dan kewira usahaan yang progresif. Pedoman GCG yang disusun oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance menjadi acuan dalam penerapan GCG di Indonesia yang memuat prinsip dan aturan: (1) hak pemegang saham dan prosedur RUPS, (2) tanggung jawab dan komposisi dewan komisaris, (3) tugas dan komposisi direksi, (4) pengaturan sistem audit, baik eksternal maupun komite audit, (5) fungsi sekretaris perusahaan sebagai mediator dengan investor, (6) pengaturan pihak- pihak yang berkepentingan, (7) adanya keterbukaan, (8) kewajiban menjaga kerahasiaan informasi oleh komisaris dan direksi, (9) pengaturan tentang informasi dari orang dalam, (10) prinsip mengatur etika berusaha dan antikorupsi, (11) prinsip mengatur donasi, (12) prinsip yang mengatur tentang kepatuhan pada peraturan perundang-undangan tentang proteksi kesehatan, keselamatan kerja dan pelestarian lingkungan, dan (13) prinsip pengaturan kesempatan kerja yang sama mengenai hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan, bukan berdasarkan faktor lainnya.

Corporate governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return atas dana yang telah diinvestasikan. Corporate governance berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyek- proyek yang tidak menguntungkan berkaitan dengan dana/kapital yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengontrol para manajer (Shleifer dan Vishny, 1997).

Dengan kata lain corporate governance diharapkan dapat berfungsi untuk menekan atau menurun kan konflik keagenan. Fama dan Jensen (1983) menyata kan bahwa non-executive director  (komisaris independen) dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi di antara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate governance. Mekanisme corporate governance diukur dari komposisi Dewan Komisaris Independen. Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya, dan pemegang saham pengendali serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2004). Proporsi dewan komisaris independen dapat diukur dengan menggunakan indikator persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dari seluruh ukuran anggota dewan komisaris perusahaan (Ujiyanto dan Pramuka, 2007).

Manajemen Laba

 Adanya praktik manajemen laba dalam pengelolaan perusahaan oleh manajer dapat dijelaskan berdasarkan agency theory. Pihak-pihak yang terlibat dalam perusahaan (manajer, pemilik, kreditor, karyawan) akan berperilaku oportunis karena pada dasarnya mempunyai kepentingan yang berbeda. Scott (2003:368) mendefinisikan manajemen laba adalah “Given that managers can choose accounting policies from a set (for example,GAAP), it is natural to expect that they will choose policies so as to maximize their own utility and/or the market value of the firm”, yang mengandung arti bahwa manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari standar akuntansi yang ada dan secara alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau nilai pasar perusahaan. Scott (2003:283) membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua, yaitu (1) perspektif perilaku oportunis manajer karena manajer selalu berusaha memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (opportunistic earnings management) dan (2) perspektif efficient contracting (efficient earnings management) karena manajemen laba memberikan manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.

Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui manajemen laba. Scott (2003:383--384) menjelaskan beberapa pola manajemen laba, yang dapat dilakukan oleh manajemen, yaitu: (1) “Taking a bath.” Cara ini dilakukan dalam periode di mana terjadi organizational stress atau reorganisasi, termasuk pengangkatan CEO baru. Jika perusahaan harus melaporkan rugi maka manajer terdorong untuk melaporkan rugi yang sekalian besar dengan cara melakukan penghapusan aktiva atau pembuatan cadangan untuk biaya masa mendatang. Cara ini meningkatkan kemungkinan melaporkan laba yang lebih tinggi, dan memperoleh bonus, di masa mendatang, (2) Minimalisasi laba. Cara ini serupa namun tidak seekstrem taking a bath. Biasanya dilakukan dalam kondisi laba tinggi oleh perusahaan yang memiliki visibilitas politis yang tinggi (3) Maksimalisasi laba. Manajer melakukan hal ini dengan tujuan mengejar bonus, dan akan dilakukan sepanjang tidak menyebabkan laba laporan lebih tinggi daripada batas atas skema bonus. Perusahaan yang mendekati batas pelanggaran debt covenant juga cenderung memaksimalkan laba (4) Perataan laba.

Pola ini mungkin merupakan pola manajemen laba yang paling menarik. Dari penelitian Healy (1985) terlihat bahwa manajer memiliki insentif untuk meratakan laba agar tetap berada di antara batas bawah (bogey) dan batas atas (cap) skema bonus. Di samping itu, manajer yang risk-averse lebih menyukai laba yang tidak terlalu berfluktuasi sehingga juga cenderung melakukan perataan laba. Motivasi lain yang dapat menyebabkan manajer melakukan perataan laba adalah keinginan untuk meratakan rasio-rasio debt covenant, mengurangi kemungkinan dipecat, dan mengkomunikasikan informasi mengenai prospek perusahaan kepada investor.

Pengembangan Hipotesis Studi Mengenai Kebijakan Dividen dan Manajemen Laba

Dewenter et al. (2000) menguji perbedaan konflik antara manajemen dan pemegang saham atas kebijakan dividen di Jepang dan Amerika Serikat. Permasalahan yang diteliti adalah tingkat asimetri informasi mengenai kandungan informasi pengumuman dividen dan konflik keagenan. Temuan penelitian ini adalah konflik keagenan di Jepang lebih rendah dibandingkan dengan di Amerika Serikat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa masalah keagenan berpengaruh terhadap kebijakan dividen.

Achmad (2007) mencoba kembali membuktikan kebenaran motivasi manajemen melakukan tindakan manajemen laba yang dituangkan dalam 3 (tiga) hipotesis dari positive accounting theory, yaitu the bonus plan hypothesis, debt covenant hypothesis, dan the political cost hypothesis (size hypothesis). Watt dan Zimmerman (1986: 257--262) dengan seting perusahaan yang ada di Indonesia. Data yang dianalisis adalah laporan keuangan periode 2003--2005 dengan ordinary least square regression analysis. Setelah dianalisis secara statistik penelitian dilanjutkan dengan melakukan investigasi langsung ke perusahaan yang discretionary accrualls-nya ekstrim. Hasil temuan memberikan dukungan pada hipotesis utang dan politikal proses. Rencana bonus tidak berpengaruh pada manajemen laba.

Achmad (2007) menyatakan bahwa motivasi rencana bonus, perjanjian utang, dan biaya politik merupakan motivasi manajemen laba yang berlaku umum (bernilai global) dalam praktik-praktik bisnis pengelolaan perusahaan. Hasil investigasi terhadap perusahaan yang dijadikan sampel dalam investigasi menemukan beberapa alasan manajer melakukan tindakan manajemen laba antara lain. (1) pembayaran pajak, (2) penggeseran kinerja (sebagai akibat biaya politik), (3) laba dari restrukturisasi utang, (4) kesinambungan usaha, (5) motivasi rencana bonus, (6) pembayaran dividen, dan (7) debt covenant. Hasil temuan Achmad (2007) masih memiliki kelemahan. Pertama, sampel perusahaan tidak dikontrol antara perusahaan yang terindikasi melakukan manajemen laba secara ekstrem dengan perusahaan yang tidak mengelola laba. Kedua, penelitian menggunakan sampel hanya 83 perusahaan sehingga model prediksi discretonary accruals yang dihasilkan relatif masih lemah. Ketiga, investigasi praktik manajemen laba menghasilkan motivasi dan strategi yang bersifat indikasi dan bukan pembuktian yang dapat dijadikan dasar dalam penilaian kewajaran suatu transaksi secara ekonomi dan hukum. Penelitian yang menganalisis hubungan kebijakan dividen dengan manajemen laba seperti yang dilakukan oleh Savov (2006). Tujuan penelitiannya adalah mengembangkan analisis pada manajemen laba untuk menguji hubungan interaksi antara perilaku pelaporan perusahaan, kebijakan dividen dan investasi, dan kesalahan penentuan harga saham (stock market mispricing) dan dua varibel tambahan, yaitu nilai pasar (market to book ratio) dan utang (debt). Penelitian dilakukan di perusahaan- perusahaan Jerman dengan menggunakan data laporan keuangan periode 1982-- 2003 dan menggunakan analisis regresi. Manajemen laba diproksi menggunakan dicretionary accrual dengan metode pengukuran yang diadopsi dari model modifikasian Jones (1991). Kebijakan dividen diukur dengan perubahan dividen yang berdasarkan Litner (1956) model.

Hasil penelitian menemukan bahwa investasi berhubungan positif dengan manajemen laba dan kebijakan dividen berhubungan secara negatif terhadap manajemen laba. Hasil temuan Savov (2006) menunjukkan bahwa kebijakan dividen berhubungan negatif terhadap manajemen laba. Artinya semakin tinggi dividen yang dibayarkan maka manajemen semakin menurunkan laba dengan cara melakukan manajemen laba dengan pola income decreasing. Berdasarkan beberapa uraian penelitian sebelumnya maka dapat diajukan hipotesis H1: Kebijakan dividen berpengaruh terhadap manajemen laba.

Pengaruh kebijakan dividen (DPR) terhadap manajemen laba (ML)

Hasil pengujian hipotesis 1 menunjukkan secara statistis signifikan bahwa kebijakan kebijakan dividen (DPR) ber pengaruh terhadap manajemen laba pada tingkat kepercayaan 95% atau Pvalue < 0,05. Hal itu, berarti bahwa hipotesis 1 didukung. Hasil ini konsisten dengan penelitian sebelumnya (Achmad, 2007), (Kato at al., 2007), dan (Savov, 2006) yang menunjukkan bahwa kebijakan dividen (yang diproksi dengan DPR) berhubungan dengan manajemen laba dengan koefisien yang bertanda negatif.

Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa kebijakan dividen sebagai sumber konflik antara manajemen dan pemegang saham dapat mempengaruhi/ memotivasi manajemen melakukan tindakan manajemen laba. Semakin tinggi DPR berarti bahwa manajemen semakin menurunkan laba dengan melakukan tindakan manajemen laba dengan cara decreasing income. Hasil penelitian ini mendukung teori keagenan sebagai teori utama yang mendasari penelitian ini. Teori keagenan (Jensen dan Mckling, 1976) menjelaskan bahwa antara manajemen dan pemegang saham terbukti menimbulkan konflik karena kedua belak pihak, baik agen (manajemen) maupun prinsipal (pemegang saham) menginginkan mendapatkan keuntungan yang maksimal dari hubungan kontraktual ini.


Pada penelitian ini kebijakan dividen merupakan sumber konflik. Di satu sisi pemegang saham menginginkan dividen dibagi dalam jumlah besar (sesuai dengan bird in the hand theory), sedangkan manajemen menginginkan dividen dibagi dalam jumlah yang kecil (sesuai dengan teori dividen kas residual). Teori kas residual menjelaskan bahwa manajemen akan selalu berusaha agar dana yang dimiliki oleh perusahaan sedapat mungkin memberikan manfaat pada perusahaan (bukan kepada pemegang saham) sehingga alternatif pembagian dividen merupakan alternatif terakhir (Kaen, 2003). Manajemen mau membayar dividen jika tidak ada kesempatan berinvestasi yang menghasilkan net present value (NPV) yang positif pada masa yang akan datang. Berdasarkan teori dan hasil pengujian statistis terbukti bahwa adanya upaya manajemen menurun kan laba dengan cara melakukan manajemen laba dengan cara melakukan decreashing income.











sumber : http://download.portalgaruda.org/article.php?article=14124&val=951

Kamis, 10 November 2016

ETIKA DALAM PASAR OLIGOPOLI

Pasar oligopoli adalah pasar yang didalamnya terdapat beberapa penjual terhadap 1 komoditi sehingga tindakan 1 penjual akan mempengaruhi tindakan penjual lainnya. Jika produknya homogen disebut oligopoli murni (pure oligopoly). Jika produknya berbeda corak disebut oligopoli beda corak (differentiated oligopoly).
Dalam pasar oligopoli, setiap perusahaan memposisikan dirinya sebagai bagian yang terikat dengan pasar, di mana keuntungan yang mereka dapatkan tergantung dari tindak-tanduk pesaing mereka. Sehingga semua usaha promosi, iklan, pengenalan produk baru, perubahan harga, dan sebagainya dilakukan dengan tujuan untuk menjauhkan konsumen dari pesaing mereka.
Praktek oligopoli umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk kedalam pasar, dan juga perusahaan-perusahaan melakukan oligopoli sebagai salah satu usaha untuk menikmati laba normal di bawah tingkat maksimum dengan menetapkan harga jual terbatas, sehingga menyebabkan kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli menjadi tidak ada. Struktur pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri-industri yang memiliki capital intensive yang tinggi, seperti, industri semen, industri mobil, dan industri kertas.
Asumsi yang mendasari kondisi di pasar oligopoli adalah pertama, penjual sebagai price maker. Penjual bukan hanya sebagai price maker, tetapi setiap perusahaan juga mengakui bahwa aksinya akan mempengaruhi harga dan output perusahaan lain, dan sebaliknya. Kedua, penjual bertindak secara strategik. Asumsi ketiga, kemungkinan masuk pasar bervariasi dari mudah (free entry) sampai tidak mungkin masuk pasar (blockade), dan asumsi keempat pembeli sebagai price taker. Setiap pembeli tidak bisa mempengaruhi harga pasar.
Pasar oligopoli model kurva patah diformulasikan oleh Sweezy. Dalam model ini keseimbangan perusahaan ditentukan pada waktu garis permintaan yang dihadapi produsen patah. Karena pada tingkat ini berarti MR yang dihadapi produsen sama besar dengan MC-nya, memang secara umum dapatlah diutarakan bahwa kurva MR dapat berpotongan dengan kurva MC di mana saja pada bagian kurva MR yang patah. Hal ini bermakna bahwa adanya perubahan struktur biaya produksi tidak akan berpengaruh terhadap tingkat output dan harga keseimbangan perusahaan. Berbentuk patah kurva permintaan yang dihadapi oligopolis ini mencerminkan perilaku oligopolis di pasar, yaitu apabila ia menurunkan tingkat harga jual, maka ia mengharapkan produsen pesaingnya akan mengikuti kebijaksanaannya. Akan tetapi kalau ia menaikkan harga jual maka produsen pesaingnya tidak akan mengikuti kebijaksanaan. Bentuk kurva permintaan yang patah adalah manifestasi dari adanya ketidakpastian oligopolis terhadap perkiraan perusahaan pesaing apabila ia menurunkan tingkat harga jual. Model ini dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa dalam pasar oligopoli tingkat harga output yang terjadi di pasar cenderung tetap tidak berubah-ubah.
Menurut Sweezy, ciri reaksi oligopolis jika terjadi perubahan harga adalah jika suatu oligopolis menurunkan harga maka oligopolis cenderung juga akan menurunkan harga karena tidak mau kehilangan konsumen dan  jika oligopolis menaikkan harga maka akan kehilangan konsumen karena oligopolis lain tidak menaikkan harga dan akan mendapat tambahan konsumen dengan tanpa melakukan reaksi apapun. Hal ini menyebabkan kurva permintaan yang dihadapi oligopolis merupakan kurva yang patah (kinked demand curve).
Karakteristik pasar oligopoly :           
•           Hanya terdapat sedikit perusahaan dalam industry.
•           Produknya homogen atau terdiferensiasi.
•           Pengambilan keputusan yang saling mempengaruhi.
•           Kompetisi non harga.
Penyebab terbentuknya pasar oligopoly :
Efisiensi skala besar di dalam efisiensi teknis (teknologi) dan efisiensi ekonomi (biaya produksi). Profit hanya bisa tercipta apabila perusahaan mampu mencapai tingkat efisiensi. Efisiensi teknis menyangkut pada penggunaan teknologi dalam proses produksi. Kemampuan produsen dalam menempatkan sumber daya secara optimal. Efisiensi ekonomi menyangkut pada biaya produksi. Bagaimana mengatur biaya pada komposisi yang tepat sehingga harga yang dipasarkan merupakan harga yang bisa diterima pasar dan produsen.
Ciri-ciri pasar Oligopoli :
1. Terdapat banyak pembeli di pasar.
Umumnya dalam pasar oligopoly adalah produk-produk yang memiliki pangsa pasar besar dan merupakan kebutuhan sehari-hari, seperti semen, Provider telefon selular, air minum, kendaraan bermotor, dan sebagainya.
2. Hanya ada beberapa perusahaan(penjual) yang menguasai pasar.
3. Umumnya adalah penjual-penjual (perusahaan) besar yang memiliki modal besar saja (konglomerasi).
Karena ada ketergantungan dalam perusahaan tersebut untuk saling menunjang. Contoh: bakrie group memiliki pertambangan, property, dan perusahaan telefon seluler (esia)
4. Produk yang dijual bisa bersifat sejenis, namun bisa berbeda mutunya.
Perusahaan mengeluarkan beberapa jenis sebagai pilihan yang berbeda atribut, mutu atau fiturnya. Hal ini adalah alat persaingan antara beberapa perusahaan yang mengeluarkan beberapa jenis produk yang sama, atau hamper sama di dalam pasar oligopoly
5. Adanya hambatan bagi pesaing baru.
Perusahaan yang telah lama dan memiliki pangsa pasar besar akan memainkan peranan untuk menghambat perusahaan yang baru masuk ke dalam pasar oligopoly tersebut.
Diantaranya adalah bersifat kolusif, dimana antar pesaing dalam pasar oligopoly membuat beberapa kesepakatan masalah harga, dan lain-lain. Perusahaan baru akan sulit masuk pasar karena produk yang mereka tawarkan meskipun mutu dan harganya lebih unggul, tapi peranan Brand image melalui periklanan mengalahkan hal tersebut.
6. Adanya saling ketergantungan antar perusahaan (produsen).
Keuntungan yang didapatkan bergantung dari pesaing perusahaan tersebut. Yaitu adanya tarik menarik pangsa pasar (Market share) untuk mendapatkan profit melalui harga jual bersaing sehingga tidak ada keuntungan maksimum.
7. Advertensi (periklanan) sangat penting dan intensif.
Untuk menciptakan brand image, menarik market share dan mencegah pesaing baru.
Peranan koperasi dalam pasar jenis oligopoly.
Regulasi/Price agreement.
Untuk mencegah persaingan harga yang ekstrim, beberapa perusahaan atau pemerintah menetapkan aturan mengenai harga standar sehingga tidak ada persaingan harga yang mencolok.
Peran koperasi di didalam pasar oligopoly adalah sebagai retailer (pengecer), dikarenakan untuk terjun ke dalam pasar oligopoly ini diperlukan capital intensive (modal yang tinggi). Koperasi dapat berperan sebagai pengecer produk berbagai jenis dari beberapa produsen. Keuntungan diperoleh dari laba penjualan.

Contoh kasusnya adalah persaingan antar perusahaan telekomunikasi seluler yang tidak mempunyai etika dalam mempromosikan produknya. Baik di media cetak maupun elektronik. Mereka secara tidak langsung menyindir pesaingnya dengan iming-iming tarif telepon yang lebih murah, padahal harga murah belum tentu kualitasnya juga bagus karena banyak perusahaan telekomunikasi seluler yang mempromosikan tarif murah namun kualitasnya juga murahan. Misalnya tarif telepon gratis dari pukul 00.00 – 08.00, kenyataannya memang gratis namun tiap 10 menit akan putus dengan sendirinya dan untuk menelpon kembali akan sulit menyambung. Adapun operator yang menetapkan tarif murah namun jaringannya jelek atau ada juga yang mengiming-imingi bonus tapi pada kenyataannya terdapat syarat dan ketentuan yang susah. Itulah contoh dari ketidakmampuan perusahaan telekomunikasi seluler dalam menghadapi pasar persaingan oligopoli. Mereka lebih cenderung berorientasi pada laba tanpa melihat etika dalam berbisnis yang baik.



sumber : https://thiyo90.wordpress.com/2012/01/03/kaitan-etika-bisnis-dengan-pasar-oligiopoli-dan-pasar-monopoli/

Sabtu, 15 Oktober 2016

NORMA & ETIKA DALAM PRODUKSI

  Pengertian
Etika adalah seperangkat prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menegaskan tentang benar dan salah. Sedangkan produksi adalah suatu kegiatan menambah nilai guna barang dengan menggunakan sumberdaya yang ada
Jadi, Etika Produksi adalah seperangkat prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menegaskan tentang benar dan salahnya hal hal yang dikukan dalam proses produksi atau dalam proses penambahan nilai guna barang. Etika secara sederhana adalah studi mengenai hak dan kewajiban manusia, peraturan moral yang dibuat dalam pengambilan keputusan dan sifat alami hubungan antar manusia dan alam. maka etika produksi yang diperhitungkan adalah:


1.   Nilai (aturan main yang dibuat pengusaha dan menjadi patokan berbisnis).
2.   Hak dan kewajiban (menerima dan menggaji karyawan, membayar pajak dansebagainya).
3.   Peraturan moral (Peraturan moral menjadi acuan tertulis yang sangat penting bagi pengusaha ketika mengalami dilema atau permasalahan, baik internal atau eksternal).
4.    Hubungan manusia (memprioritaskan perekrutan karyawan dari masyarakat disekitar perusahaan, menghargai hak cipta, dll).

5.   Hubungan dengan alam (ikut mengelola lingkungan hidup dan mengelola limbah sisa hasil produksi).

Pentingnya Etika Produksi

Dalam proses produksi, sebuah produsen pada hakikatnya tentu akan selalu berusaha untuk menekan biaya produksi dan berusaha untuk mendapatkan laba sebanyak banyaknya. Dalam upaya produsen untuk memperoleh keuntungan, pasti mereka akan melakukan banyak hal untuk memperolehnya. Termasuk mereka bisa melakukan hal hal yang mengancam keselamataan konsumen. Padahal konsumen dan produsen bekerjasama. Tanpa konsumen, produsen tidak akan berdaya. Seharusnyalah produsen memeberi perhatian dan menjaga konsumen sebagai tanda terima kasih telah membeli barang atau menggunakan jasa yang mereka tawarkan. Namun banyak produsen yang tidak menjalankan hal ini. Produsen lebih mementingkan laba. Seperti banyaknya kasus kasus yang akhirnya mengancam keselamatan konsumen karena dalam memproduksi, produsen tidak memperhatikan hal-hal buruk yang mungkin terjadi pada konsumen. Bahkan, konsumen ditipu, konsumen ditawarkan hal-hal yang mereka butuhkan, tapi pada kenyataannya, mereka tidak mendapat apa yang mereka butuhkan mereka tidak memperoleh sesuai dengan apa yang ditawarkan.
Contohnya produk produk tembakau telah menewaskan 400.000 warga amerika setiap tahun. Jumlahnya lebih banyak dari pada jumlah total penderita AIDS, korban kecelakaan, pembunuhan, bunuh diri, narkoba, dan kebakaran. Kasus produk Korek (geretan) BIC corporation yang tidak layak digunakan tapi tetap dijual dan akhirnya digunakan konsumen, akhirnya terjadi kecelakaan kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa.banyak kecelakaan kecelakaan lain terjadi diakibatkan barang yang diproduksi tidak sesuai standar, produk yang sekali pakai langsung rusak, produk cacat dan garansi yang tidak ditepati.

Kecelakaan-kecelakaan ini tentunya merugikan konsumen, karena dengan membeli produk yang dihasilkan produsen tersebut, mereka harus mengeluarkan biaya lebih yaitu untuk membiayai pengobatan jika sakit dan luka, dan megalami kerugian karena kegunaan barang yang diharapkan tidak tercukupi.
Jadi, perusahaan berkewajiban untuk memberikan produk sesuai dengan karakteristik yang dimaksud dan konsumen memiliki hak korelatif untuk memperoleh produk dengan karateristik yang dimaksud.
–          Kewajiban untuk Mematuhi
Kewajiban untuk memberikan suatu produk dengan karakteristik persis seperti yang dinyatakan perusahaan, yang mendorong konsumen untuk membuat kontrak dengan sukarela dan yang membentuk pemahaman konsumen tentang apa yang disetujui akan dibelinya.
Jadi, pihak penjual berkewajiban memenuhi klaim yang dibuatnya tentang produk yang
 dijual. Tidak seperti Wintherop Laboratories memasarkan produk penghilang rasa sakit yang oleh perusahaannya diklaim sebagai obat nonaddictive (tidak menyebabkan ketergantungan). Selanjutnya seorang pasien yang menggunakan produk tersebut menjadi ketergantungan dan akhirnya meninggal karena over dosis.
–             Kewajiban untuk MengungkapkanPenjual yang akan membuat perjanjian dengan konsumen untuk mengungkapkan dengan tepat apa yang akan dibeli konsumen dan apa saja syarat penjualannya. Ini berarti bahwa penjual berkewajiban memberikan semua fakta pada konsumen tentang produk tersebut yag dianggap berpengaruh kepada keputusan konsumen untuk membeli. Contoh, jika pada sebuah produk yang dibeli konsumen terdapat cacat yang berbahaya atau beresiko terhadap kesehatan dan keamanan konsumen, maka harus diberitahu.
–          Kewajiban untuk Tidak Memberikan Gambaran yang Salah
Penjual harus menggambarkan produk yang ia tawarkan dengan benar, ia harus membangun pemahaman yang sama tentang barang yang ia tawarkan di piiran konsumen sebagaimana barang tersebut adanya. Jangan sampai terjadi Misrepresentasi bersifat koersif , yaitu, seseorang yang dengan sengaja memberikan penjelasan yang salah pada orang lain agar orang tersebut melakukan sesuatu seperti yang diinginkannya, bukan seperti yang diinginkan orang itu sendiri apabila dia mengetahui yang sebenarnya. Contoh: pembuat perangkat lunak atau perangkat keras computer memasarkan produk yang mengandung ‘bug’ atau cacat tanpa memberitahu tentang fakta tersebut. Contoh lainnya, produk bekas dikatakan produk baru; salah satu perusahaan memberi nama salah satu produknya mirip dengan merek produk perusahaan lain yang kualitasnya lebih baik agar konsumen bingung.
–             Kewajiban untuk Tidak Memaksa
Penjual berkewajiban untuk tidak memanfaatkan keadaan emosional yang mungkin mendorong pembeli untuk bertindak secara irasional dan bertentangan dengan kepentingannya, tidak memanfaatkan ketidaktahuan, ketidakdewasaan, kebodohan, atau faktor lain yang mengurangi atau menghapuskan kemampuan pembeli untuk menetapkan pilihan secara bebas.



sumber :
https://niaariyanierlin.wordpress.com/tag/etika-produksi/
https://www.scribd.com/doc/290414587/Tugas-3-Norma-Dan-Etika-Dalam-Pemasaran-Produksi-Manajemen-Sumber-Daya-Manusia-Dan-Finansial

Jumat, 01 Januari 2016

Tulisan ke 10

CSR PADA BANK BRI


BANK BRI BERINDONESIA!
Sebelum Indonesia merdeka (1895), BRI sudah mengambil bagian dalam perekonomian masyarakat atau bumiputera istilahnya saat itu. Bank BRI yang bermula di Kota Purwokerto Jawa Tengah ikut serta membangun perekonomian masyarakat.
Begitu merdeka, memasuki orde lama, orde baru, dan orde reformasi, Bank BRI terus tumbuh secara signifikan hingga saat ini menjadi bank paling produktif secara nasional. Sukses mencetak laba terbesar sepanjang tahun (sejak 2005) untuk menjadi yang terbesar dan tersebar, Bank BRI juga menjadi tempat acuan belajar berkelas dunia bagi bangsa-bangsa lain yang ingin mendalami micro banking. Tercatat hingga saat ini lebih dari 6000 visitors dari 65 negara telah berkunjung dan belajar di Bank BRI, dengan latar belakang sebagai praktisimicro finance, akademisi, perwakilan pemerintah, pejabat bank sentral dan praktisi perbankan. Oleh karenanya, wajarlah apabila Bank BRI merupakan bagian dari kebanggaan bangsa ini. Sebagai bank yang merupakan bagian dari kemajuan bangsa Indonesia, Bank BRI tidak lupa perannya dalam berbagi dengan masyarakat melalui program corporate social responsibility (CSR) melalui program BRI Peduli.
Melihat banyak kelebihan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, tidak berlebihan jika program-program BRI Peduli berada di bawah naungan tema Bangga BERINDONESIA. Sofyan menjabarkan, “Bangga BERINDONESIA bermakna ganda. Bangga [BERI]NDONESIA dapat berarti bangga memberi Indonesia. Artinya kami bangga memberi sesuatu untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia”. “AdapunBangga BER[INDONESIA] dapat juga bermakna bangga ber-Indonesia. Kami bangga menjadi bangsa Indonesia yang secara tersirat memiliki makna nasionalisme dan patriotisme serta bagaimana kami berbuat sesuatu yang berarti untuk kejayaan Indonesia” pungkas Sofyan.
10 November 2011

Bantu Kurangi Risiko Pembunuh Nomor Wahid
Bukan rahasia umum lagi bila jantung koroner masih menjadi pembunuh nomor satu sedunia. Memprihatinkan lagi, jumlah pasien jantung koroner semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sebagaimana diketahui, jantung koroner merupakan penyakit yang disebabkan penumpukan lemak pada dinding pembuluh darah koroner, yakni pembuluh darah yang memberikan makanan pada otot jantung.
Direktur Utama RS JPDHK , dr. Hananto Andriantoro, SpJP (K), mengungkapkan pihaknya saat ini tengah mengembangkan pelayanan diagnostik invasif dan intervensi kardiovaskular pada Rumah Sakit Jejaring di seluruh Indonesia. ”Untuk pengembangan tersebut diperlukan peralatan kateterisasi yang mini dan dapat dengan mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lainya (mobile). Diharapkan dengan adanya peralatan kateterisasi yang mini dan mobile, maka akan memudahkan opname jantung pada berbagai tempat di seluruh Rumah Sakit Jejaring di seluruh Indonesia,” papar Hananto Andriantoro.
Melihat kebutuhan ini, Bank BRI terpanggil mengurangi risiko pembunuh nomor wahid sedunia ini. Untuk membantu pasien-pasien di daerah-daerah dimana rumah sakitnya tidak memiliki alat katetrisasi jantung, Bank BRI dengan semangat Bangga BERINDONESIA, kali ini menggandeng Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RS JPDHK) Jakarta, memberikan alat kateterisasi jantung yang disebut Peralatan Mini Cath Lab merk GE OEC 9900 Elite senilai Rp.4.000.000.000,- (empat miliar rupiah). Bantuan ini merupakan upaya BRI untuk mewujudkan Bangga Berkesehatan yaitu Kebanggaan bagi masyarakat Indonesia untuk menuju kesehatan yang prima
Sejalan dengan itu, alat ini dapat dipergunakan untuk membantu program pemerintah, khususnya Departemen Kesehatan, untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas penyakit kardiovaskular di Tanah Air. ”Membantu pemerintah untuk memberikan layanan bergerak untuk mengatasi penyakit jantung di RS Jejaring RS JPDHK di seluruh Indonesia,” terang Hananto.
Pada bagian lain, Direktur Utama Bank BRI Sofyan Basir mengharapkan agar dengan peralatan ini, pihak rumah sakit dapat tertolong untuk mengerem laju salah satu ”mesin” pembunuh nomor wahid ini. Dia menjelaskan, dana pembelian peralatan ini diambil dari anggaran Bina Lingkungan Bank BRI. Sofyan menegaskan, bantuan ini merupakan salah satu wujud nyata tanggungjawab sosial (corporate social responsibility/CSR) Bank BRI untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia. ”Program ini merupakan amanah nasabah di bank yang memiliki jaringan kerja tersebar dan terbesar di Indonesia ini” pungkas Sofyan.
Bermula dari Gaya Hidup
Sebagaimana diketahui, gaya hidup dan pola makan yang tidak sehat disinyalir menjadi salah satu pemicu penyakit ini. Selain memulai gaya hidup sehat, deteksi dini terhadap penyakit ini juga diperlukan untuk mengatasi meningkatnya risiko serangan jantung.
Saat ini beberapa metode pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit jantung koroner bisa dilakukan. Pemeriksaan dilakukan dengan mendeteksi adanya sumbatan di pembuluh darah koroner. Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan berbagai alat. Mulai alat yang sederhana seperti EKG (Elektrokardiogram) dan treadmill sampai alat yang canggih yaitu MS-CT dan pemeriksaan gold-standard yaitu kateterisasi jantung.
Kateterisasi jantung atau arteriografi koroner merupakan suatu prosedur medis yang dilaksanakan dengan tujuan mendeteksi, mencari atau mengobati penyakit jantung. Sebuah selang yang panjang, tipis, dan fleksibel, disebut juga kateter, dimasukkan ke dalam tubuh melalui pembuluh darah besar melalui lengan, paha bagian atas, atau leher. Secara perlahan kateter dimasukkan menuju ke jantung.
Dengan semakin meningkatnya teknologi kedokteran, khususnya di bidang subspesialis jantung (Kateterisasi dan Intervensi), maka saat ini telah tersedia peralatan yang sangat canggih. Dengan peralatan mutakhir yang dioperasikan oleh Spesialis Jantung yang terlatih dan berpengalaman dan didukung oleh Rumah Sakit yang memiliki fasilitas pendukung yang lengkap, maka tindakan kateterisasi dapat dianggap tidak berisiko, terbukti aman, dan jarang menimbulkan komplikasi.
BRI Peduli – Bangga BerIndonesia – Bangga BerKesehatan.
Sebagai salah satu bank skala besar di Indonesia,­ PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. tidak pernah ­melupakan ­perannya ikut membantu ­seluruh lapisan ­masyarakat.
Dari sisi bisnis, komitmen PT Bank Rakyat ­Indonesia (BRI) Tbk terhadap pelaku usaha sudah tidak diragukan lagi. Lihat saja, penyaluran kredit bagi pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) terus tumbuh setiap tahun­nya. Begitu pula dengan ­penyaluran kredit program, dan kredit usaha rakyat (KUR).
Melalui skema Program ­Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL), BRI berkomitmen membantu masya­rakat antara lain dalam ­bidang pendidikan dan lingkungan. Kedua ­sektor tersebut memang menjadi fokus utama penyaluran CSR BRI ­sepanjang tahun ini.
Muhamad Ali, Sekretaris­ Perusaha­an PT BRI Tbk ­mengata­kan pihaknya selalu berkomitmen membantu segala lapisan masyarakat,­ termasuk melalui CSR.
“Kalau soal komitmen, kami tidak perlu diragukan lagi dan dari sisi perusahaan, BRI berharap program CSR yang dijalankan betul-betul bermanfaat bagi masyarakat,” katanya.
Sepanjang Januari-April 2013, penyaluran dana bina lingkungan atau CSR BRI mencapai Rp18,5 miliar. Angka tersebut terdiri dari realisasi program bina lingkungan di bidang pembangunan sarana umum sebesar Rp1,11 miliar, bantuan bencana alam sebesar Rp1,05 miliar, bidang ­pendidik­an Rp1, 17miliar kesehatan Rp3,21 miliar, sarana ibadah Rp1,53 miliar dan pelestarian alam Rp433 juta.
Selain itu, BRI juga memberikan bantuan di bidang kesehatan sebesar Rp3,2 miliar, pembangun­an sarana ibadah Rp1,5 miliar, dan ­bidang pelestarian lingkungan sebesar Rp433 juta. Sepanjang tahun lalu, dana bina lingkungan yang tersalurkan oleh BRI mencapai Rp253,009 miliar.
Sebagai program bina ­lingkungan sarana umum­ diselenggarakan di Kota ­Batam, yakni melalui ­penata­an dan pemberdayaan PKL di Kawasan­ Square 91 Kota Batam.
Pada kesempatan tersebut,­ BRI memberikan bantuan berupa 50 unit gerobak bagi PKL senilai Rp187,5 juta.
“Program sejalan dengan CSR BRI untuk memberdayakan UMKM, dalam hal ini dengan ­mekanisme penataan dan pemberdayaan PKL ke depan,” ungkap Ali.
Pada masa mendatang, para PKL diharapkan dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sasaran pengembangan bisnis BRI melalui unit kerja BRI setempat.
Sebagai salah satu ­contoh BRI peduli dengan kalangan­ usaha­ mikro, kecil dan menengah­ (UMKM) adalah ­dengan membantu ­mereka melakukan pemulihan­ (recovery)­ terhadap ­kelangsungan usahanya.
Dampak banjir di Jakarta dan sekitarnya beberapa waktu lalu ­tidak hanya merugikan masya­rakat pada umumnya, tapi juga kalangan UMKM, sehingga dilakukan pemulihan­ itu di ­beberapa lokasi.
Kawasan yang menjadi lokasi pemulihan antara lain di Bukit Duri, Johar Baru, Tanjung Priok, Grogol, Pluit, Bekasi, Marunda, Bendungan Hilir, dan beberapa wilayah lainnya.
Bentuk-bentuk bantuan yang diberikan tidak dalam bentuk uang tunai namun meliputi fasilitas penunjang usaha para korban banjir seperti kompor gas dan peralatan memasak bagi usaha kuliner, gerobak usaha, tenda maupun sarana penunjang lainnya.
Banjir yang datang secara tiba-tiba menyebabkan banyak pengusaha mikro tidak sempat menyelamatkan peralatan usaha maupun barang dagangannya.
Dengan kemampuan modal yang terbatas, hal ini menyebabkan banyak pengusaha-pengusaha mikro mengalami kerugian cukup besar.
Sebagai upaya lainnya dalam memperbaiki lingkungan, BRI menunjukan komitmennya ­untuk membantu masyarakat pada Jumat (26/4/2013) memberikan bantuan Bina ­Lingkungan sarana umum ­kepada Desa Pesawah­an , ­Kecamatan ­Cilongkok di Kabupaten­ ­Banyumas, Jawa Tengah.
Bantuan BRI hampir senilai Rp120 juta itu untuk keperluan perbaikan akses jalan menuju desa, karena kondisi jalan menuju Desa Pesawahan tidak memadai, jalanan yang terjal dan berbatu menyebabkan warga sangat kesulitan­ dalam menjalankan kegiatan sehari-hari.
Dengan adanya perbaik­an ­jalan ini, akses menuju­ desa akan semakin mudah, sehingga warga dapat lebih mudah beraktivitas khususnya dalam mengembangkan ­pe­r­ekonomi­an di desa tersebut.
Program ini adalah program lanjutan yang dilakukan oleh BRI kepada Desa Pesawahan, sebelumnya BRI memberikan bantuan ternak kambing dan pembuatan kandang agar kesejahteraan warga disana semakin meningkat.






Sumber :

Pengemis, pengamen, pengangguran

Pengemis, pengamen, dan pengangguran dikaitkan dengan perekonomian


1. Pengemis
Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Di masa lalu, menjadi pengemis merupakan suatu keterpaksaan, saat ini merupakan suatu pilihan yang dilakukan dengan sukarela. Daya tarik yang mengundang banyak orang ini pada akhirnya menimbulkan persaingan di antara sesama pengemis. Salah satu dampak dari persaingan adalah timbulnya koordinator lapangan, yang mengatur jumlah pengemis di setiap titik sekaligus mencari titik-titik yang berpotensi untuk menghasilkan pendapatan. Selain itu, pengemispun juga harus menggunakan berbagai strategi untuk menarik perhatian dan mendorong orang untuk memberikan uang kepada mereka. Jika di masa lalu, penampilan umum pengemis adalah dengan baju yang kumuh, wajah yang kotor dan memelas, serta perilaku yang menunjukkan kecacatannya, maka sekarang ini berbagai strategi mereka lakukan, seperti:
1. Berdiri di tengah terik matahari dengan cucuran keringat.
2. Menunjukkan bukti bahwa mereka cacat, misalnya dengan tidak menggunakan baju atau menggulung celananya. Saya pernah melihat seorang pengemis berbadan tegap bertelanjang dada untuk menunjukkan bahwa dia kehilangan satu tangan, suatu gabungan antara cacat dengan badan yang sehat. Strategi ini dilakukan karena banyak pengemis yang berpura-pura cacat, misalnya dengan menyembunyikan tangan atau kakinya dibalik pakaiannya.
3. Duduk atau menggeletak di tengah jalan, di antara mobil-mobil, sehingga menimbulkan lebih banyak perhatian bagi pengemudi agar tidak menabrak mereka dan lebih memudahkan pengendara memberikan uang.
4. Menggendong anak kecil atau langsung menggunakan anak kecil untuk mengemis. Penggunaan anak kecil biasanya lebih efektif dalam memancing perhatian dan belas kasihan, karena itu semakin banyak pengemis yang menggunakan anak dalam bekerja. Dengan semakin banyaknya pengemis menggunakan strategi ini, maka berkuranglah efektivitasnya. Lalu mereka bersaing dengan menggunakan anak yang semakin kecil ataupun bayi. Seorang kompasioner pernah bercerita bertemu dengan pengemis yang membawa bayinya yang masih berumur beberapa minggu.
5. Membawa formulir sumbangan entah dari mesjid atau panti asuhan mana karena surat permohonan yang terbungkus plastik sudah kotor untuk dibaca. Saya pernah bertemu dengan beberapa orang anak yang menyerbu saya, masing-masing membawa lembar dari mesjid/panti asuhan yang berbeda. Strategi ini cocok untuk menarik perhatian dan uang dari orang yang enggan memberi uang untuk pengemis tapi senang untuk menyumbang mesjid/panti asuhan. Model permintaan sumbangan ini bukan gagasan orisinil dari pengemis. Mereka mungkin belajar dari permintaan sumbangan yayasan sosial yang didirikan pejabat tinggi negara ataupun permintaan sumbangan dari pensiunan pegawai tertentu, yang juga banyak menghadapi permasalahan akuntabilitas, tercampur untuk kebutuhan pribadi (atau lembaga) dan kebutuhan sosial.
6. Membawa kardus-kardus sebagai tempat memasukkan sumbangan. Biasanya permintaan sumbangan ini diikuti dengan tema-tema tertentu, misalnya bencana alam, Prita, Bilqis, panti jompo, dan lain-lain. Mereka terlihat cukup terpercaya dengan menggunakan seragam jaket berwarna tertentu, berpenampilan seperti mahasiswa. Belakangan mereka mengaku dari LSM tertentu, namun yang menjadi permasalahan adalah tidak ada laporan akuntabilitas atas uang sumbangan yang diterima.
7. Tampil beda dengan membawa sebuah karton yang bertuliskan mereka membutuhkan biaya sekolah atau biaya hidup.
Saat ini semakin gencar dilakukan kampanye untuk tidak memberikan uang kepada pengemis, (termasuk dalam bentuk peraturan dan fatwa haram) dan juga pengungkapan berbagai fakta mengenai kekayaan pengemis Masalahnya adalah tidak memberikan uang kepada pengemis ternyata tidak membuat orang berhenti menjadi pengemis. Mereka malah melakukan drama-drama yang lebih menyayat hati, seperti membawa bayi yang masih berumur beberapa minggu, berpanas-panasan dan berhujan-hujan dengan bayinya, menggeserkan badannya di antara roda-roda mobil.
Pemerintah daerah pada dasarnya dengan mudah dapat membasmi pengemis. Lokasi operasi pengemis mudah diketahui. Mereka biasanya beroperasi di jalan-jalan macet, termasuk di perempatan jalan. Pengemis juga mudah ditemukan di berbagai jembatan penyeberangan. Usaha untuk menangkap pengemis juga telah dilakukan tapi kemudian menjadi tayangan yang menyentuh rasa kemanusiaan kita, termasuk pembelaan dari LBH Jakarta yang menyatakan penangkapan pengemis merupakan tindakan kriminal karena Pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja. Akhirnya Pemerintah serba salah dan lebih memilih untuk menghukum orang-orang yang memberikan uangnya kepada pengemis dan masalah pengemis tidak pernah terselesaikan secara tuntas.
2. Pengamen dan Anak Jalanan
Pengamen adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan cara bernyanyi atau memainkan alat musik di muka umum dengan tujuan menarik perhatian orang lain dan mendapatkan imbalan uang atas apa yang mereka lakukan. Kehadiran pengamen kadang kala sangat mengganggu kenyamanan apalgi banyak dari mereka yang memaksa untuk diberi imbalan, ada juga yang menolak jika diberi sejumlah uang yang nilainya terlalu kecil misalnya Rp.100,- dan memunta jumlah yang lebih besar.
Di Indonesia, keberadaan anak jalanan muncul sekitar tahun 1970-an dimulai Jakarta, Bandung dan Jogja kemudian disususl dengan kota-kota lain yaitu Malang, Surabaya dan Semarang. Beragam pandangan tentang definisi maupun istilah-istilah dari Anak Jalanan
mulai muncul . menurut hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian, tahun 2000, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta anak (Soewignyo, 2002).
4. Penyebab Kemiskinan
Tidak sulit mencari faktor-faktor penyebab kemiskinan, tetapi dari faktor-faktor tersebut sangat sulit memastikan mana yang merupakan penyebab sebenarnya serta mana yang berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap perubahan kemiskinan.
• Tingkat dan laju pertumbuhan output
• Tingkat upah neto
• Distribusi pendapatan
• Kesempatan kerja
• Tingkat inflasi
• Pajak dan subsidi
• Investasi
• Alokasi serta kualitas SDA
• Ketersediaan fasilitas umum
• Penggunaan teknologi
• Tingkat dan jenis pendidikan
• Kondisi fisik dan alam
• Politik
• Bencana alam
• Peperangan
Penyebab kemiskinan menurut Kuncoro sebagai berikut :
1. Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah yang terbatas dan kualitasnya rendah. Dari hasil mereka bekerja
2. kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia karena kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitas juga rendah, upahnyapun rendah
3. kemiskinan muncul sebab perbedaan akses dan modal. Sendalam ismawan, mengutarakan bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan adalah persoalan aksesibilitas. Akibat keterbatasan dan ketertiadaan akses manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tidak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya, kecuali menjalankan apa terpaksa saat ini yang dapat dilakukan (bukan apa yang seharusnya dilakukan).Dengan demikian manusia mempunyai keterbatasan dalam melakukan pilihan, akibatnya potensi manusia untuk mengembangkan hidupnya menjadi terhambat.
4. Kemiskinan karna seseorang malas berusaha untuk dirinya sendiri dikarenakan pergaulan yang membawa mereka menjadi malas sekolah, ataupun belajar.
5. Kemiskinan di karenakan bencana alam seperti banjir bandang dan tanah longsor atau kebakaran yang menghabiskan semua harta benda mereka.
Kemisikinan boleh berlaku atas kekurangan individu dan juga atas masalah sosio-ekonomi dalam sesuatu masyarakat. Sehubungan itu, sebab musabab kemisikinan boleh dilihat dari dua dimensi iaitu dimensi individu dan juga dimensi masyarakat.
4. Dampak Kemiskinan
a. Dampak Kemiskinan Dimensi individu
Kekurangan individu yang tertentu boleh mencetuskan kemiskinan. Kelemahan individu ini biasanya kelemahan yang ketara dan boleh menyebabkan seseorang itu miskin, walaupun dia berada dalam suatu masyarakat yang penuh dengan peluang rezeki. Kelemahan individu ini adalah seperti berikut:
• Tabiat Berjudi
Tabiat berjudi adalah satu amalan yang menyebabkan sesorang itu miskin. Ini adalah kerana orang yang berjudi, khususnya mereka yang ketagihan berjudi, akan banyak kehilangan harta dalam aktiviti berjudi, dan mereka seringnya hilang tumpuan dalam pekerjaan kerana leka dalam perjudian.
• Ketagihan Dadah
Orang yang ketagihan dadah sukar untuk melaksanakan suatu pekerjaan kerana badan mereka lemah. Mereka juga akan banyak kehilangan harta dalam membeli dadah. Kemisikinan yang dihadapi oleh mereka adalah berpanjangan kerana ketagihan dadah adalah sesuatu yang amat sukar untuk dilepaskan.
• Sakit Badan
• Masalah Personaliti
Pada umumnya, personaliti bermasalah yang menyebabkan kemisikinan ialah sikap malas. Sikap malas itu dicerminkan dalam tingkah laku seperti suka berkhayal, suka beromong kosong, dan juga “elak kerja”. Orang yang malas adalah kekurangan produktiviti dan mereka akan hilang banyak peluang untuk mencari rezeki.
b. Dimensi Masyarakat
Dari dimensi ini, kemisikinan merupakan sesuatu yang terhasil daripada masalah sosio-ekonomi yang wujud dalam sesuatu masyarakat dan bukanlah sesuatu yang diakibatkan oleh kelemahan individu itu sendiri. Antara sebab musabab kemisikinan yang berhubung dengan masalah masyarakat adalah seperti berikut:
• Konflik
konflik seperti peperangan, rusuhan dan sebagainya akan menyebabkan kegiatan ekonomi terbantut dan ia juga membinasakan infrastruktur yang penting untuk menjana kekayaan. Semua ini akan menyebabkan kemisikinan berlaku.
• Ketidakadilan Sosial
Menurut teori Marxisme, dalam masyarakat yang mengamalkan ekonomi pasaran bebas, kemisikinan adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Dalam masyarakat ini, harta cenderung untuk bertumpu kepada golongan yang terkaya, manakala orang yang misikin cenderung menjadi lebih miskin. Ini adalah kerana dalam pasaran bebas, komoditi itu dijualkan kepada mereka yang mampu menawarkan harga yang lebih tinggi. Prinsip ini menyebabkan faktor pengeluargan seperti tanah, cenderung dimiliki oleh golongan terkaya, kerana mereka mempunyai kuasa pembelian yang lebih tinggi. Pemilikikan faktor pengeluaran ini akan menyebabkan orang terkaya ini menjadi lebih kaya, dan mereka akan membeli lebih banyak faktor pengeluaran di pasaran bebas. Proses ini akan berterusan, sehingga golongan terkaya ini memonopoli segala faktor pengeluaran, dan menyebabkan orang lain dalam masyarakat miskin kerana tidak memiliki faktor pengeluaran. Tetapi teori ekonomi marxisme sudah dibukti salah oleh ramai ahli ekonomi. Semua negara yang telah cuba mengikuti cadangan Karl Marx gagal mengurangi kemiskinan. Kini hampir semua ahli ekonomi dan ahli sejarah ekonomi cadangkan ekonomi bebas untuk mengurangi kemiskinan.
Dampak lain kemiskinan suatu bangsa adalah banyaknya pengangguran
a. Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan kerja dan ingin mendapat pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya. Masalah pengangguran yang menyebabkan tingkat pendapatan nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat.
b. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum;
c. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain;
5. Alasan mengapa harus turun ke jalan
1. Aspek ekonomi
2. Aspek sejarah dan budaya
3. Aspek lingkungan
4. Aspek keluarga
5. Aspek pendidikan
Pada dasarnya masalah pengemis, pengamen dan gelandangan sangat terkait dengan faktor kemiskinan. Selain itu ada begitu banyak faktor yang menjadikan mereka sebagai pekerja jalanan yang keras dan beresiko, seperti membantu ekonomi keluarga, menjadi korban penculikan, dipaksa bekerja orang lain, dan lain sebagainya.
6. Cara mengurangi dan menghilangkan kemiskinan dan para pekerja jalanan
– Kebijakan anti kemiskinan
Untuk menghilangkan atau mengurangi kemiskinan di tanah air diperlukan suatu strategi dan bentuk intervensi yang tepat, dalam arti cost effectiveness-nya tinggi.
– Ada tiga pilar utama strategi pengurangan kemiskinan, yakni :
pertumuhan ekonomi yang berkelanjutan dan yang prokemiskinan
Pemerintahan yang baik (good governance),Pembangunan sosial. Untuk mendukung strategi tersebut diperlukan intervensi-intervensi pemerintah yang sesuai dengan sasaran atau tujuan yang bila di bagi menurut waktu yaitu :
Intervensi jangka pendek, terutama pembangunan sektor pertanian dan ekonomi pedesaan, Intervensi jangka menengah dan panjang, Pembangunan sektor swasta, Kerjasama regional, APBN dan administrasi, Desentralisasi
Pendidikan dan Kesehatan, Penyediaan air bersih dan Pembangunan perkotaan. Cara mengatasi kemiskinan
• Usaha Individu
Seseorang boleh berusaha untuk menyelesaikan masalah kemiskinan yang dihadapinya oleh dirinya. Pada lazimnya seseorang itu dapat mengatasi kemisikinan dirinya menerusi pendidikan.
• Penyedekahan
Penyedekahan merupakan satu cara yang baik untuk membantu golongan termiskin dalam masyarakat. Tetapi ia tidak dapat mengatasi masalah kemisikinan secara keseluruhan.
• Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi bermaksud penambahan barangan dan perkhidmatan yang ditawarkan dalam pasaran di sesebuah negara. Pembangunan ekonomi merupakan cara yang paling berkesan untuk mengatasi masalah kemiskinan. Tetapi ia harus disertai dengan pengagihan pendapatan yang adil dalam masyarakat. Bank Dunia dan Tabung Kewangan Antarabangsa cadangkan pembangunan ekonomi sebagai faktor yang paling penting dalam mengatasi kemiskinan.
• Pembangunan Masyarakat
Pasaran bebas Milton Friedman dan lain-lain mencadangkan pasaran bebas untuk bagi pembangunan ekonomi dan mengatasi kemiskinan. Jika ada pembangunan ekonomi ada pula pengurangan kemiskinan.
Dampak kemiskinan di Indonesia memunculkan berbagai penyakit pada kelompok risiko tinggi seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi, balita, dan lanjut usia. “Kita mengakui sejak krisis ekonomi tahun 1997 jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat”. kemiskinan yang terjadi di Indonesia menyebabkan cakupan gizi rendah, pemeliharaan kesehatan kurang, lingkungan buruk, dan biaya untuk berobat tidak ada dan biaya perawatan untuk persalinan ibu melahirkan tidak ada bantuan dari pemerintah. Akibat terkena penyakit, katanya pada lokakarya “Pengentasan Kemiskinan Melalui Pengembangan Industri Agromedicine Terpadu”, menyebabkan produktivitas rendah, penghasilan rendah dan pengeluaran bertambah.
Kemiskinan memang tidak pernah berhenti dan tidak bosan menghancurkan cita-cita masyarakat Indonesia khususnya para generasi muda. Kemiskinan sudah banyak “membutakan” segala aspek seperti pendidikan. Sebagian dari penduduk Indonesia lantaran keterbatasan ekonomi yang tidak mendukung, oleh contoh kecil yang terjadi di lapangan banyak anak yang putus sekolah karena menunggak SPP, siswa SD yang nekat bunuh diri karena malu sering ditagih oleh pihak sekolah, anak di bawah umur bekerja keras dengan tujuan memberi sesuap nasi untuk keluarganya, banyak nya pengamen dan pengemis di ibu kota karna semua ini. Bagaimana Indonesia mau maju kalau generasi muda yang seharusnya sekolah sekarang ikut merasakan korban faktor kemiskinan.

 Masalah Pengangguran di Provinsi Kalimantan Barat

Tingginya angka pengangguran di Provinsi Kalimantan Barat menjadi salah satu faktor utama rendahnya taraf hidup para penduduk di Provinsi Kalimantan barat. Namun yang menjadi manifestasi utama sekaligus faktor penyebab rendahnya taraf hidup karena Terbatasnya penyerapan sumber daya, termasuk sumber daya manusia. Pemanfaatan sumber daya yang rendah dikarenakan buruknya efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. 

Dua penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan sumber daya manusia adalah karena tingkat pengangguran penuh dan tingkat pengangguran terselubung yang terlalu tinggi dan terus melonjak. Jika hal ini di biarkan terus-menerus maka akan sangat besar kemungkinan angka pengangguran di Provinsi Kalimantan Barat akan semangkin tinggi. Hal tersebut akan berakibat buruk, dan dapat menyebabkan terjadinya masalah sosial yang semangkin besar di masyarakat, seperti kemiskinan, kriminalitas dan lain-lain.

Ini bisa di lihat melalui diagram penelitian analisis tingkat efisiensi sektoral dan siklus bisnis kalimantan barat di bawah ini.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfHIWkmyZBfYMY0Kq6RdtwAbIZfxPJC0oJhVCL0nxDGKkmCxCIXFANMmVUFP4NeXFBJT0nHqaP027I5BHmb9GFaZBf0G0eBCNqIeKK2qnZhpxkDqwk3FOfrGzBjUleUzh-gJXKazaDl4o/s1600/1.png

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiP5JVanFnBbSbvZ8JQpRhn1LO-vA4EjvhIcrS_svXcIJo5KnoBd9Q0L9UDYh80SNz3UXQEAN-xM39r-ax8BU056BEOnmAHJTXdyCP1U19iBVUlckp-137BpZMZB7a0IgPprc9CCgQQjgo/s1600/2.png



Peta perekonomian provinsi Kalimantan Barat sejak tahun 1993 hingga saat ini (data BPS,

2008) tidak berubah secara signifikan. Perekonomian provinsi ini masih didominasi oleh 3 sektor utama yakni sektor pertanian, sektor perdagangan, dan sektor industri pengolahan.

Sektor pertanian selalu menjadi pemegang pangsa perekonomian terbesar di Kalbar baik

sebelum krisis 1997 ataupun pasca krisis ekonomi 1997. Pergeseran pangsa terjadi pada sektor ekonomi dominan lainnya yakni sektor perdagangan yang saat ini menduduki urutan kedua mendominasi perekonomian Kalbar setelah sektor pertanian. Sementara sektor industri pengolahan yang pada tahun 90-an memiliki pangsa nomor dua terbesar terus menyusut pangsanya hingga saat ini berada di posisi ketiga. Perubahan konstelasi ekonomi Kalbar sebetulnya dimulai pada tahun 1998 di mana booming industri perkayuaan sejak tahun 1967 mulai mengalami titik jenuhnya sejalan dengan sumber daya alam hutan yang semakin terbatas. Kondisi ini mengakibatkan pagsa sektor industri pengolahan di Kalbar menyusut dari 25% (rata-rata tahun 1993-1997) menjadi 21% (rata-rata tahun 1998-2008). Walaupun industri pengoahan kayu masih memberikan kontribusi terhadap perekonomian Kalbar, namun dominasinya telah tergeserkan oleh industri pengolahan karet.

2.5 Dampak Pengangguran Bagi Provinsi Kalimantan Barat

Pengangguran merupakan masalah pokok dalam suatu masalah pokok dalam suatu masyarakat modern. Jika tingkat pengangguran tinggi, sumberdaya menjadi terbuang percuma dan tingkat pendapatan masyarakat akan merosot. Situasi ini menimbulkan kelesuan ekonomi yang berpengaruh pada emosi masyarakat dan dalam kehidupan keluarga sehari-hari. Adapun dampak pengangguran terhadap kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat adalah sebagai berikut. Dilihat dari segi ekonomi, pengangguran memiliki dampak sebagai berikut :

1. Pengangguran menyebabkan turunnya daya beli masyarakat, sehingga akan mengakibatkan kelesuan dalam berusaha.
2. Pengangguran akan menghambat investasi, karena menurunnya jumlah tabungan masyarakat.

Dari segi sosial, dampak pengangguran adalah sebagai berikut :
1. Perasaan minder ( rendah diri ),
2. Meningkatnya angka kriminalitas,
3. Meningkatnya angka kemiskinan,
4. Munculnya pengamen, pengemis, anak jalanan, dan
5. Tingginya anak-anak yang putus sekolah.


2.6  Data Pengangguran di Provinsi Kalimantan Barat
Jumlah pengangguran di Provinsi Kalimantan Barat pada tahun 2010 diperkirakan mencapai ± 101,6 ribu jiwa dari total jumlah penduduk yang mencapai ±4.393.239 jiwa. Menurut data BPS ( tahun 2010 ), tingkat pengangguran terbuka ( TPT ) tertinggi terjadi di kota Singkawang sebesar 8,05 persen, di susul Kabupaten Pontianak 7,80 persen, Kota Pontianak 7,79 persen. Sementara tingkat pengangguran terbuka ( TPT ) terendah di Kabupaten Melawi sebesar 1,30 persen dan di susul Kapuas Hulu 2,25 persen. Sementara dari sisi jumlah pengangguran, terbesar di Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya masing-masing 20,3 ribu jiwa dan 14,7 ribu jiwa, sedangkan paling sedikit di Kabupaten Melawi dan Sekadau, masing-masing 1,27 ribu jiwa dan 2,24 ribu jiwa, Sumber: Badan Statistik Provinsi Kalimantan Barat.

Menurut hasil survei angkatan kerja nasional ( Sakernas ), tingkat partisipasi angkatan kerja ( TPAK )di Provinsi Kalimantan Barat sebesar 73,17 persen atau sebanyak 2,2 juta jiwa. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK ) terbesar di kabupaten Kapuas hulu sebesar 79,82 persen dan melawi 78,95 persen. Sedangkan tingkat partisipasi angkatan kerja ( TPAK ) terendah di Kota Pontiank sebesar 65,61 persen dan di Kota Singkawang 66,61 persen.

Sementara untuk persentase penyerapan tenega kerja berada di tiga sector, yakni pertanian 60,43 persen; perindustrian 12,39 persen; dan pelayanan 27,18 persen. Menurut data sektor pertanian yang paling tinggi menyerap tenaga kerja, yakni di Kabupaten Landak sebesar 82,33 persen, terendah di Kota Pontinak 5,44 persen. Untuk jumlah penduduk Provinsi Kalimantan Barat yabg berkerja di sektor formal 27,55 persen, kemudian informal 72,45 persen, sumber BPS Provinsi Kalimantan Barat.


2.7 Cara Mengatasi Pengangguran di Provinsi Kalimanta Barat

Pengangguran ada bermacam-macam, untuk mengatasinya harus disesuaikan dengan jenis pengangguran yang terjadi, yaitu sebagai berikut : 

1. Pengangguran struktural
Untuk mengatasi pengangguran jenis ini, cara yang di gunakan adalah : 
§  Peningkatan mobilitas modal dan tenaga kerja.
§  Segera memindahkan tenaga kerja dari sektor yang kelebihan ke tempat dan sektor ekonomi yang kekeurangan.
§  Mengadakan pelatihan tenaga kerja untuk mengisi lowongan kerja yang kosong .
§  Segera mendirikan industri padat karya di wilayah yang mengalami pengangguran.
§  Menarik investor sebanyak-banyaknya.
2. Pengangguran friksional
Untuk mengatasi pengangguran jenis ini, cara yang di gunakan adalah :
§  Perluasan kesempatan kerja dengan cara mendirikan industri-industri baru, terutama yang bersifat padat karya.
§  Deregulasi dan Debirokratisasi di berbagai bidang industri untuk merangsang timbulnya investasi baru.
§  Menggalakkan pengembangan seckor informal, seperti home industri.
§  Menggalakan program transmigrasi untuk menyerap tenaga kerja di sektor agraris dan sektor formal lainnya.
§  Pembukaan proyek-proyek umum oleh pemerintah, seperti pembangunan jembatan, jalan raya, PLTU, PLTA, dan lain-lain sehingga bias menyerap tenaga kerja secara langsung maupun utuk merangsang insvestasi baru dari kalangan swasta.
3. Pengangguran Musiman
Untuk mengatasi pengangguran jenis ini, cara yang di gunakan adalah :
Pemberian informasi yang cepat jika ada lowongan kerja di sektor lain.
§  Melakukan pelatihan di bidang keterampilan lain untuk memanfaatkan waktu ketika menunggu musim tertentu.
4. Pengangguran Siklus 
Untuk mengatasi pengangguran jenis ini, cara yang di gunakan adalah :
§  Mengarahkan permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa.
§  Meningkatkan daya beli masyarakat
5. Pengangguran Konjungtural
Untuk mengatasi pengangguran jenis ini, cara yang di gunakan adalah :
§  Meningkatkan daya beli masyarakat sehingga pasar menjadi ramai dan akan menambah jumlah permintaan.
§  Mengatur bunga bank agar tidak terlalu tinggi sehingga investor lebih suka menginvestasikan uangnya.
6. Pengangguran Teknologi
Untuk mengatasi pengangguran jenis ini, cara yang di gunakan adalah :
§  Mempersiapkan masyarakat untuk untuk dapat mengikuti perkembangan teknologi dengan cara memasukkan materikurikulum pelatihan teknologi di sekolah.
§  Pengenalan teknologi sejak dini
§  Pelatihan tenaga pendidik untuk penguasaan teknologi.
Secara umum pengangguran dapat di atasi dengan : 
1. Memperluas kesempatan kerja yang dapat di lakukan dengang dua cara, yaitu sebagI berikut : 
§  Pengembangan industri, truta jenis industri yang bersifat padat karya ( yang dapat menyerap relatif banyak tenaga kerja ).
§  Melalui berbagai proyek perkerjaan umum, seperti pembuatan jalan, saluran air dan jembatan.
2. Menurunkan jumlah angkatan kerja 
Ada beberapa cara yang dapat di lakukan untuk menurunkan jumlah agkatan kerja, misalnya dengan program keluarga berencana, program wajib belajar dan pembatasan usia kerja minimum.Meningkatkan kualitas kerja dari tenaga kerja yang ada, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan tututan keadaan. Banyak cara yang bias di lakukan, seperti melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, kursus, balai latihan kerja, mengikuti seminar dan yang lainnya. 




sumber :