Teori
Kebijakan Dividen
Ada
tiga argumentasi mengenai kebijakan dividen yang berkaitan dengan nilai
perusahaan yang sampai sekarang masih diperdebatkan. Hal itu terjadi karena
dividen masih merupakan hal yang membingungkan (dividend puzzle). Argumentasi
tersebut dikemukakan oleh Miller dan Modigliani, Lintner dan Gordon, serta
Litzenberger dan Ramaswamy (Hartono, 2000) dan dapat dijelaskan dengan, (1)
Dividen tidak relevan, teori Modigliani dan Miller ini menyatakan bahwa
pembayaran dividen tidak berpengaruh terhadap kemakmuran pemegang saham, (2)
Dividen dapat meningkatkan kesejahtera an pemegang saham. Gordon dan Lintner
mengemukakan argumentasi nya bahwa semakin tinggi dividend pay out ratio, maka
semakin tinggi nilai perusahaan. Investor lebih senang menerima pembayaran
dividen pada masa sekarang dibandingkan menunggu capital again dari laba
ditahan. Pandangan Gorden- Lintner ini oleh Modigliani-Miller diberi nama the
bird in the hand fallacy, yang dikenal dengan bird in the hand theory, dan (3)
Dividen menurunkan tingkat kesejahteraan pemegang saham. Pandangan Litzenberger
dan Ramaswamy ini dikenal dengan tax different theory, yang mengemukakan bahwa
semakin tinggi dividend pay out ratio suatu perusahaan maka nilai perusahaan
semakin rendah.
Hal
ini didasari pada pemikiran bahwa pajak yang dikenakan terhadap capital gain
lebih rendah daripada pajak dividen. Ketiga pandangan dalam teori kebijakan
dividen tersebut ternyata saling bertentangan atau terjadi kontroversial.
Pandangan Modigliani-Miller menyatakan bahwa tidak ada kebijakan dividen yang
optimal karena kebijakan apa pun yang diambil tidak akan mempengaruhi nilai
perusahaan. Gordon dan Lintner menyarankan agar perusahaan membagi dividen yang
tinggi, pendapat yang ketiga menyarankan perusahaan untuk membagi kan dividen
yang rendah atau tidak membagikan dengan tujuan mengurangi biaya modal dan
menaikkan nilai perusahaan.
Konsep
Good Corporate Governace (GCG) Tujuan GCG adalah untuk memaksimalkan nilai
perusahaan dan pemegang saham dengan mengembangkan transparansi, kepercayaan
dan pertanggungjawaban, serta menetapkan sistem pengelolaan yang mendorong dan
mempromosikan kreativitas dan kewira usahaan yang progresif. Pedoman GCG yang disusun
oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance menjadi acuan dalam
penerapan GCG di Indonesia yang memuat prinsip dan aturan: (1) hak pemegang
saham dan prosedur RUPS, (2) tanggung jawab dan komposisi dewan komisaris, (3)
tugas dan komposisi direksi, (4) pengaturan sistem audit, baik eksternal maupun
komite audit, (5) fungsi sekretaris perusahaan sebagai mediator dengan
investor, (6) pengaturan pihak- pihak yang berkepentingan, (7) adanya
keterbukaan, (8) kewajiban menjaga kerahasiaan informasi oleh komisaris dan
direksi, (9) pengaturan tentang informasi dari orang dalam, (10) prinsip
mengatur etika berusaha dan antikorupsi, (11) prinsip mengatur donasi, (12)
prinsip yang mengatur tentang kepatuhan pada peraturan perundang-undangan
tentang proteksi kesehatan, keselamatan kerja dan pelestarian lingkungan, dan
(13) prinsip pengaturan kesempatan kerja yang sama mengenai hubungan kerja
antara perusahaan dan karyawan, bukan berdasarkan faktor lainnya.
Corporate
governance merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan diharapkan bisa
berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa
mereka akan menerima return atas dana yang telah diinvestasikan. Corporate
governance berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan
memberikan keuntungan bagi mereka, manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau
menginvestasikan ke dalam proyek- proyek yang tidak menguntungkan berkaitan
dengan dana/kapital yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan
bagaimana para investor mengontrol para manajer (Shleifer dan Vishny, 1997).
Dengan
kata lain corporate governance diharapkan dapat berfungsi untuk menekan atau
menurun kan konflik keagenan. Fama dan Jensen (1983) menyata kan bahwa
non-executive director (komisaris
independen) dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi di
antara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta memberikan
nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk
melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate
governance. Mekanisme corporate governance diukur dari komposisi Dewan
Komisaris Independen. Komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang
tidak terafiliasi dengan manajemen, anggota dewan komisaris lainnya, dan
pemegang saham pengendali serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan
lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau
bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan (Komite Nasional Kebijakan
Governance, 2004). Proporsi dewan komisaris independen dapat diukur dengan
menggunakan indikator persentase anggota dewan komisaris yang berasal dari luar
perusahaan dari seluruh ukuran anggota dewan komisaris perusahaan (Ujiyanto dan
Pramuka, 2007).
Manajemen
Laba
Adanya praktik manajemen laba dalam
pengelolaan perusahaan oleh manajer dapat dijelaskan berdasarkan agency theory.
Pihak-pihak yang terlibat dalam perusahaan (manajer, pemilik, kreditor,
karyawan) akan berperilaku oportunis karena pada dasarnya mempunyai kepentingan
yang berbeda. Scott (2003:368) mendefinisikan manajemen laba adalah “Given that
managers can choose accounting policies from a set (for example,GAAP), it is
natural to expect that they will choose policies so as to maximize their own
utility and/or the market value of the firm”, yang mengandung arti bahwa
manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari standar
akuntansi yang ada dan secara alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan
atau nilai pasar perusahaan. Scott (2003:283) membagi cara pemahaman atas
manajemen laba menjadi dua, yaitu (1) perspektif perilaku oportunis manajer
karena manajer selalu berusaha memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi
kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political costs (opportunistic earnings
management) dan (2) perspektif efficient contracting (efficient earnings
management) karena manajemen laba memberikan manajer suatu fleksibilitas untuk
melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian
yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
Dengan
demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar saham perusahaannya melalui
manajemen laba. Scott (2003:383--384) menjelaskan beberapa pola manajemen laba,
yang dapat dilakukan oleh manajemen, yaitu: (1) “Taking a bath.” Cara ini
dilakukan dalam periode di mana terjadi organizational stress atau
reorganisasi, termasuk pengangkatan CEO baru. Jika perusahaan harus melaporkan
rugi maka manajer terdorong untuk melaporkan rugi yang sekalian besar dengan
cara melakukan penghapusan aktiva atau pembuatan cadangan untuk biaya masa
mendatang. Cara ini meningkatkan kemungkinan melaporkan laba yang lebih tinggi,
dan memperoleh bonus, di masa mendatang, (2) Minimalisasi laba. Cara ini serupa
namun tidak seekstrem taking a bath. Biasanya dilakukan dalam kondisi laba
tinggi oleh perusahaan yang memiliki visibilitas politis yang tinggi (3) Maksimalisasi
laba. Manajer melakukan hal ini dengan tujuan mengejar bonus, dan akan
dilakukan sepanjang tidak menyebabkan laba laporan lebih tinggi daripada batas
atas skema bonus. Perusahaan yang mendekati batas pelanggaran debt covenant
juga cenderung memaksimalkan laba (4) Perataan laba.
Pola
ini mungkin merupakan pola manajemen laba yang paling menarik. Dari penelitian
Healy (1985) terlihat bahwa manajer memiliki insentif untuk meratakan laba agar
tetap berada di antara batas bawah (bogey) dan batas atas (cap) skema bonus. Di
samping itu, manajer yang risk-averse lebih menyukai laba yang tidak terlalu
berfluktuasi sehingga juga cenderung melakukan perataan laba. Motivasi lain
yang dapat menyebabkan manajer melakukan perataan laba adalah keinginan untuk
meratakan rasio-rasio debt covenant, mengurangi kemungkinan dipecat, dan
mengkomunikasikan informasi mengenai prospek perusahaan kepada investor.
Pengembangan
Hipotesis Studi Mengenai Kebijakan Dividen dan Manajemen Laba
Dewenter
et al. (2000) menguji perbedaan konflik antara manajemen dan pemegang saham
atas kebijakan dividen di Jepang dan Amerika Serikat. Permasalahan yang
diteliti adalah tingkat asimetri informasi mengenai kandungan informasi
pengumuman dividen dan konflik keagenan. Temuan penelitian ini adalah konflik
keagenan di Jepang lebih rendah dibandingkan dengan di Amerika Serikat. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa masalah keagenan berpengaruh terhadap
kebijakan dividen.
Achmad
(2007) mencoba kembali membuktikan kebenaran motivasi manajemen melakukan
tindakan manajemen laba yang dituangkan dalam 3 (tiga) hipotesis dari positive
accounting theory, yaitu the bonus plan hypothesis, debt covenant hypothesis,
dan the political cost hypothesis (size hypothesis). Watt dan Zimmerman (1986:
257--262) dengan seting perusahaan yang ada di Indonesia. Data yang dianalisis
adalah laporan keuangan periode 2003--2005 dengan ordinary least square
regression analysis. Setelah dianalisis secara statistik penelitian dilanjutkan
dengan melakukan investigasi langsung ke perusahaan yang discretionary
accrualls-nya ekstrim. Hasil temuan memberikan dukungan pada hipotesis utang
dan politikal proses. Rencana bonus tidak berpengaruh pada manajemen laba.
Achmad
(2007) menyatakan bahwa motivasi rencana bonus, perjanjian utang, dan biaya
politik merupakan motivasi manajemen laba yang berlaku umum (bernilai global)
dalam praktik-praktik bisnis pengelolaan perusahaan. Hasil investigasi terhadap
perusahaan yang dijadikan sampel dalam investigasi menemukan beberapa alasan
manajer melakukan tindakan manajemen laba antara lain. (1) pembayaran pajak,
(2) penggeseran kinerja (sebagai akibat biaya politik), (3) laba dari
restrukturisasi utang, (4) kesinambungan usaha, (5) motivasi rencana bonus, (6)
pembayaran dividen, dan (7) debt covenant. Hasil temuan Achmad (2007) masih
memiliki kelemahan. Pertama, sampel perusahaan tidak dikontrol antara
perusahaan yang terindikasi melakukan manajemen laba secara ekstrem dengan perusahaan
yang tidak mengelola laba. Kedua, penelitian menggunakan sampel hanya 83
perusahaan sehingga model prediksi discretonary accruals yang dihasilkan
relatif masih lemah. Ketiga, investigasi praktik manajemen laba menghasilkan
motivasi dan strategi yang bersifat indikasi dan bukan pembuktian yang dapat
dijadikan dasar dalam penilaian kewajaran suatu transaksi secara ekonomi dan
hukum. Penelitian yang menganalisis hubungan kebijakan dividen dengan manajemen
laba seperti yang dilakukan oleh Savov (2006). Tujuan penelitiannya adalah
mengembangkan analisis pada manajemen laba untuk menguji hubungan interaksi
antara perilaku pelaporan perusahaan, kebijakan dividen dan investasi, dan
kesalahan penentuan harga saham (stock market mispricing) dan dua varibel tambahan,
yaitu nilai pasar (market to book ratio) dan utang (debt). Penelitian dilakukan
di perusahaan- perusahaan Jerman dengan menggunakan data laporan keuangan
periode 1982-- 2003 dan menggunakan analisis regresi. Manajemen laba diproksi
menggunakan dicretionary accrual dengan metode pengukuran yang diadopsi dari
model modifikasian Jones (1991). Kebijakan dividen diukur dengan perubahan
dividen yang berdasarkan Litner (1956) model.
Hasil
penelitian menemukan bahwa investasi berhubungan positif dengan manajemen laba
dan kebijakan dividen berhubungan secara negatif terhadap manajemen laba. Hasil
temuan Savov (2006) menunjukkan bahwa kebijakan dividen berhubungan negatif
terhadap manajemen laba. Artinya semakin tinggi dividen yang dibayarkan maka
manajemen semakin menurunkan laba dengan cara melakukan manajemen laba dengan
pola income decreasing. Berdasarkan beberapa uraian penelitian sebelumnya maka
dapat diajukan hipotesis H1: Kebijakan dividen berpengaruh terhadap manajemen
laba.
Pengaruh
kebijakan dividen (DPR) terhadap manajemen laba (ML)
Hasil
pengujian hipotesis 1 menunjukkan secara statistis signifikan bahwa kebijakan
kebijakan dividen (DPR) ber pengaruh terhadap manajemen laba pada tingkat
kepercayaan 95% atau Pvalue < 0,05. Hal itu, berarti bahwa hipotesis 1
didukung. Hasil ini konsisten dengan penelitian sebelumnya (Achmad, 2007),
(Kato at al., 2007), dan (Savov, 2006) yang menunjukkan bahwa kebijakan dividen
(yang diproksi dengan DPR) berhubungan dengan manajemen laba dengan koefisien
yang bertanda negatif.
Hasil
penelitian ini memberikan bukti bahwa kebijakan dividen sebagai sumber konflik
antara manajemen dan pemegang saham dapat mempengaruhi/ memotivasi manajemen
melakukan tindakan manajemen laba. Semakin tinggi DPR berarti bahwa manajemen
semakin menurunkan laba dengan melakukan tindakan manajemen laba dengan cara
decreasing income. Hasil penelitian ini mendukung teori keagenan sebagai teori
utama yang mendasari penelitian ini. Teori keagenan (Jensen dan Mckling, 1976)
menjelaskan bahwa antara manajemen dan pemegang saham terbukti menimbulkan
konflik karena kedua belak pihak, baik agen (manajemen) maupun prinsipal
(pemegang saham) menginginkan mendapatkan keuntungan yang maksimal dari
hubungan kontraktual ini.
Pada
penelitian ini kebijakan dividen merupakan sumber konflik. Di satu sisi
pemegang saham menginginkan dividen dibagi dalam jumlah besar (sesuai dengan
bird in the hand theory), sedangkan manajemen menginginkan dividen dibagi dalam
jumlah yang kecil (sesuai dengan teori dividen kas residual). Teori kas
residual menjelaskan bahwa manajemen akan selalu berusaha agar dana yang
dimiliki oleh perusahaan sedapat mungkin memberikan manfaat pada perusahaan
(bukan kepada pemegang saham) sehingga alternatif pembagian dividen merupakan
alternatif terakhir (Kaen, 2003). Manajemen mau membayar dividen jika tidak ada
kesempatan berinvestasi yang menghasilkan net present value (NPV) yang positif
pada masa yang akan datang. Berdasarkan teori dan hasil pengujian statistis
terbukti bahwa adanya upaya manajemen menurun kan laba dengan cara melakukan
manajemen laba dengan cara melakukan decreashing income.
sumber : http://download.portalgaruda.org/article.php?article=14124&val=951
Tidak ada komentar:
Posting Komentar